1.
PENDAHULUAN
Perubahan
iklim dunia merupakan tantangan yang paling serius yang dihadapi pada abad 21.
Sebagian besar pakar lingkungan sepakat bahwa terjadinya perubahan iklim
merupakan salah satu dampak dari pemanasan global. Meskipun masih belum
sepenuhnya dimengerti dengan pasti, peningkatan konsentrasi gas rumah kaca
terutama karbon dioksida (CO2), methane (CH4), dinitro-oksida (N2O),
perfluorocarbon (PFC), hydrofluorocarbon (HFC) dan sulphur hexafluoride (SF6)
di atmosfir bumi diyakini menjadi penyebab timbulnya pemanasan global.
Pemanasan
global dapat terjadi karena adanya efek rumah kaca. Gas rumah kaca yang berada
di atmosfer bumi dapat disamakan dengan tabir kaca pada pertanian yang
menggunakan rumah kaca. Panas matahari yang berupa radiasi gelombang pendek
masuk ke bumi dengan menembus tabir gas rumah kaca tersebut. Sebagian panas
diserap oleh bumi dan sisanya dipantulkan kembali ke luar angkasa sebagai
radiasi gelombang panjang. Namun, panas yang seharusnya dipantulkan kembali ke
luar angkasa menyentuh permukaan tabir dan terperangkap di dalam bumi. Seperti
proses dalam pertanian rumah kaca, sebagian panas akan ditahan di permukaan
bumi dan menghangatkan bumi. Tanpa efek rumah kaca ini maka suhu di permukaan
bumi akan lebih rendah dari yang ada sekarang sehingga tidak memungkinkan
adanya kehidupan.
Permasalahan muncul ketika konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer
bertambah. Dengan meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca, maka akan semakin
banyak panas yang ditahan di permukaan bumi dan akan mengakibatkan suhu
permukaan bumi menjadi meningkat. Kondisi ini sering disebut pemanasan global.
Pemanasan global ini bila tidak ditanggulangi diprakirakan pada tahun 2100 akan
dapat meningkatkan suhu udara sebesar 1,4 - 5,8oC relatif terhadap suhu udara
pada tahun 1990. Meningkatnya suhu udara ini akan dapat mengakibatkan adanya
perubahan iklim yang sangat ekstrim di bumi. Hal ini ditandai dengan
terganggunya ekosistem dan mencairnya gunung-gunung es di daerah kutub yang
dapat menimbulkan naiknya permukaan air laut sebesar 9 - 88 cm pada tahun 2100
(Houghton et.al., 2001).
Untuk mencegah terjadinya pemanasan global perlu upaya global
dalam mengurangi tingkat emisi gas rumah kaca sesegera mungkin. Hal ini dapat
dicapai dengan mengurangi penggunaan bahan bakar fosil dan mencegah
penggundulan hutan serta melakukan reboisasi. Mengingat sangat perlunya
dukungan secara global maka pada tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brazil
ditandatangani Kerangka Konvensi untuk Perubahan Iklim (United Nation Framework Convention on Climate Change) oleh 167 Bidang Perencanaan Energi,
PTPSE-BPPT negara. Kerangka konvensi ini mengikat
secara moral semua negara-negara industri untuk menstabilkan emisi CO2.
Indonesia telah meratifikasi konvensi ini melalui Undang Undang No. 6 Tahun
1994 tentang Pengesahan Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa
Mengenai Perubahan Iklim dan Undang Undang No. 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan
Kyoto Protocol. Sebagai negara yang sedang berkembang,
Indonesia perlu untuk melaporkan besarnya emisi CO2 yang dihasilkan namum belum
berkewajiban untuk mengurangi emisi CO2.
Ada
dua hal yang dapat dilakukan untuk menurunkan besarnya emisi gas rumah kaca di
sektor pengguna energi, yaitu: melakukan konservasi energi dan menggunakan teknologi
energi bersih yang tidak menimbulkan emisi gas rumah kaca. Namum dalam
implementasinya perlu suatu mekanisme karena upaya tersebut biasanya memerlukan
tambahan biaya. Dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut upaya-upaya dalam
mengurangi emisi gas rumah kaca di sektor pengguna energi.
2.
PEMANASAN GLOBAL
Perhatian
akan masalah pemanasan global sudah ada sejak tahun 1896. Pada waktu itu
Arrhenius melakukan perhitungan dengan cermat dan menyimpulkan bahwa kenaikan
emisi CO2 di atmosfer sebanyak dua kali lipat akan meningkatkan suhu permukaan
bumi sebesar 4 -6oC (Nordhaus, 1991). Namun perhitungan tersebut tidak
mendapat perhatian yang serius hingga pada awal tahun 1980 setelah adanya
bukti-bukti peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer. Houghton et.al.
(2001) mengemukan bahwa sejak awal revolusi industri sampai tahun 1998,
konsentrasi CO2 di atmosfer bertambah sebesar 31%. Disamping itu suhu permukaan
bumi sudah meningkat sebesar 0,044 oC/dekade selama periode tahun
1861 - 2000 atau sebesar 0,61oC selama periode tahun 1901 - 2000.
Pengamatan ini sudah mempertimbangkan adanya efek ketidakpastian tahunan.
Pembakaran bahan bakar fosil dan penggundulan hutan merupakan penyebab utama
dari bertambahnya konsentrasi gas rumah kaca ini.
2.1.
Efek Rumah Kaca
Cuaca
di bumi sangat dipengaruhi oleh radiasi matahari. Radiasi matahari yang
mencapai bumi mencapai 342 Wm-2. Sekitar 30% dari radiasi tersebut
direfeleksikan kembali ke angkasa luar karena adanya awan dan permukaan bumi.
Permukaan bumi akan menyerap radiasi matahari sebesar 168 Wm-2,
sedangkan atmosfer menyerap 67 Wm-2.
Atmosfer mempunyai beberapa lapis gas, termasuk
gas rumah kaca dan awan, yang akan mengemisikan kembali sebagian radiasi infra
merah yang diterima ke permukaan bumi. Dengan adanya lapisan ini maka panas
yang ada di permukaan bumi akan bertahan dan proses ini dinamakan efek rumah
kaca.
Untuk jangka panjang akan terjadi keseimbangan antara radiasi
yang masuk dan yang keluar sehingga suhu di bumi mencapai nilai tertentu. Neraca
energi rata-rata di bumi akibat radiasi matahari ditunjukkan pada Gambar 1.
Meskipun demikian untuk memahami keseluruhan efek rumah kaca dan dampaknya
terhadap cuaca di bumi, tidak sesederhana seperti pada gambar tetapi perlu
dipertimbangkan adanya umpak balik yang dinamis dan proses transfer energy
Gambar 1. Neraca Energi Rata-Rata di Bumi
2.2.
Emisi Gas Rumah Kaca
Kontribusi
gas rumah kaca terhadap pemanasan global tergantung dari jenis gasnya. Gas
rumah kaca yang penting kontribusinya terhadap pemanasan global adalah karbon
dioksida (CO2), methane
(CH4), dinitro-oksida (N2O), perfluorocarbon
(PFC), hydrofluorocarbon
(HFC) dan sulphur hexafluoride
(SF6). Setiap gas rumah kaca mempunyai potensi pemanasan global (Global
Warming Potential -GWP) yang diukur secara relatif
berdasarkan emisi CO2 dengan nilai 1. Makin besar nilai GWP makin bersifat
merusak. Berdasarkan perhitungan untuk beberapa tahun belakangan ini dapat
disimpulkan bahwa kontribusi CO2 terhadap pemanasan global mencapai lebih dari
60% (Mimuroto and Koizumi, 2003). Pada Gambar 2 ditunjukkan kontribusi setiap
jenis gas rumah kaca terhadap pemanasan global.
2.3.
Kontribusi Sektoral terhadap Pemanasan
Global
Emisi CO2 di dunia meningkat dari sebesar 18,3
milyar ton CO2 pada tahun 1980 menjadi sebesar 27,0 milyar ton CO2 atau ratarata
meningkat sebesar 1,6% per tahun. Amerika Serikat sebagai penyumbang emisi CO2
yang terbesar, yaitu mencapai 21,9% dari total emisi CO2 dunia pada tahun 2004,
diikuti oleh China (17,4%) dan India (4,1%). Sedangkan Indonesia hanya
menyumbang emisi sebesar 1,2% dari total emisi CO2 dunia. Meskipun Indonesia
tidak mempunyai kewajiban untuk mengurangi emisi, namun turut serta
berinisiatif melakukan strategi untuk menguranginya. Pada Tabel 1 ditampilkan
emisi CO2 dari beberapa negara yang dipilih.
Emisi
CO2 dapat berasal dari penggunaan bahan bakar fosil, seperti: batubara, minyak
bumi dan gas bumi, serta dari industri semen dan konversi lahan. Penggunaan
bahan bakar fosil merupakan sumber utama emisi CO2 di dunia dan mencapai 74%
dari total emisi. Konversi lahan mempunyai kontribusi sebesar 24% dan industri
semen sebesar 3%. Pada Gambar 3 ditunjukkan kontribusi setiap sektor terhadap
emisi CO2. Oleh karena itu, dalam makalah ini selanjutnya hanya CO2 yang
berasal dari produksi dan penggunaan energi yang akan dibahas.
2.4.
Pembentukan Institusi
Pemanasan
global mulai mendapat perhatian yang serius pada pertengahan tahun 1980 sejak World
Meteorological Organization (WMO) melakukan penelitian dan mengeluarkan scientific
background tentang perubahan iklim global. WMO
bersama-sama dengan United Nation Environment
Programme (UNEP) membentuk Intergovernmental
Panel on Climate Change (IPCC) pada tahun 1988 dan mengusulkan
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk melakukan tindakan untuk menanggulangi
pemanasan global.
PBB
kemudian mengeluarkan resolusi tentang penanggulangan pemansan global untuk
saat ini dan generasi mendatang. Resolusi ini ditindak lanjuti dengan mengadakan
World Summit di Rio de Janeiro tahun 1992. Hasil
pertemuan World Summit adalah
konvensi di bidang: biodiversitas, perubahan iklim dan agenda 21. Untuk
selanjutnya konvensi untuk perubahan iklim disebut United
Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).
Selanjutnya
berdasarkan UNFCCC sepakat untuk mengadakan rapat tahunan tingkat menteri yang
disebut Conference Of the Party
(COP) dan rapat lima tahunan setingkat kepala negara. Beberapa hasil yang
penting dari penyelenggaraan COP dapat dirangkumkan sebagai berikut. COP 1 di
Berlin pada tahun 1995 melahirkan mekanisme pendanaan yang disebut Joint
Implementation yang dapat dilakukan antar negara-negara
maju dan Activities Implemented Jointly
antara negara maju dengan negara berkembang. COP 2 di Genewa pada tahun 1996
tidak menghasilkan kesepakatan yang berarti. Baru pada COP 3 di Kyoto pada
tahun 1997 dikeluarkan Kyoto Protocol
yang mengharuskan negara maju untuk mengurangi emisi CO2 sebesar 5,2% dari
level tahun 1990 pada periode 2008 sampai 2012. Dalam protokol ini ada tiga
mekanisme pendanaan yang dapat digunakan yaitu:
Joint Implementation, Clean Development Mechanism
dan Emission Trading. COP 9 yang diadakan di Milan, Italia
membahas lebih lanjut prosedur pengajuan CDM. COP 12 yang baru saja diadakan
pada tahun 2006 di Nairobi, Kenya membahas pendanaan spesial dalam rangka
menanggulangi pemanasan global.
3. PENANGGULANGAN DI SEKTOR PENGGUNA ENERGI
Indonesia
mempunyai berbagai sumber energi yang dapat digunakan untuk mendukung
pembangunan. Sumber energi tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
sumber energi fosil dan sumber energi terbarukan. Sumber energi fosil terdiri
atas minyak bumi, gas alam, dan batubara yang dalam penggunaannya akan
menghasilkan emisi CO2. Sedangkan energi terbarukan seperti: energi air, panas
bumi, energi angin dan energi surya. Saat ini hanya energi air dan panas bumi
yang sudah dikembangkan secara komersial.
Penggunaan
sumber energi terbarukan merupakan opsi untuk mengurangi emisi CO2. Cadangan
energi terbarukan dinyatakan dalam GW yang merupakan kapasitas terpasang yang
mampu untuk dikembangkan. Cadangan energi air sebesar 75,62 GW dan panas bumi
sebesar 16,10 GW. Cadangan energi terbarukan ini masih belum dimanfaatkan
secara optimal dan sampai tahun 2005 pemanfaatan energi air hanya sebesar 3%
dan panas bumi sebesar 2% dari potensi yang ada.
3.1.
Inventori dan Mitigasi
Dalam
rangka menanggulangi dampak pemanasan global, perlu adanya inventori dan
mitigasi. Inventori dilakukan untuk mengetahui sumber emisi gas rumah kaca
serta besar emisi yang dihasilkan. Mitigasi dilakukan untuk memperoleh level
emisi tertentu dengan mengganti teknologi yang sudah ada dengan teknologi yang
baru. Teknologi untuk mitigasi gas rumah kaca dapat dikelompokkan menjadi dua
kategori yaitu: untuk sisi penawaran dan untuk sisi permintaan. Untuk sisi
penawaran dapat dilakukan dengan menggunakan sistem konversi yang lebih
efisien, mengubah bahan bakar dari energi yang mempunyai emisi tinggi menjadi
energi yang mempunyai emisi rendah, dan meningkatkan penggunaan energi
terbarukan. Untuk sisi permintaan dapat menggunakan demand
side management, dan menggunakan peralatan yang lebih
efisien.
Energi
terbarukan seperti pembangkit listrik tenaga air dan panas bumi mempunyai
kelebihan sebagai pilihan untuk mitigasi gas rumah kaca. Energi terbarukan
dapat membangkitkan tenaga listrik tanpa melalui pembakaran tidak seperti pada
penggunakan energi fosil. Pembangkit listrik tenaga air dapat dikatakan bebas
dari emisi gas rumah kaca, sedangkan pembangkit listrik tenaga panas bumi hanya
menghasilkan seperenam dari emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari
penggunaan gas alam untuk pembangkit listrik.
3.2.
Pendanaan
Kyoto
Protocol membuat terobosan untuk membantu negara maju
dalam mengurangi emisi gas rumah kaca bekerja sama dengan negara berkembang.
Salah satu mekanisme yang saat ini berkembang pesat adalah Clean
Development Mechanism.
Clean
Development Mechanism atau dalam bahasa Indonesia disebut
Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB) diharapkan dapat menurunkan emisi gas rumah
kaca di negara maju di satu sisi dan di sisi lain membantu negara berkembang
untuk menggunakan teknologi bersih. Dalam jangka panjang negara berkembang
diharapkan dapat memperoleh transfer teknologi dari negara maju dan mendapat
dukungan untuk melaksanakan pembangunan yang berkelanjutan.
Saat
ini Indonesia sudah mempunyai komisi untuk melakukan seleksi proyek MPB. Badan
nasional yang memberikan persetujuan akan proyek MPB dinamakan dengan Komisi
Nasional Mekanisme Pembangunan Bersih. Kriteria dan indikator pembangunan
PENUTUP
Sektor
pengguna energi merupakan sektor yang paling besar kontribusinya terhadap emisi
gas rumah kaca. Penggunaan energi terbarukan dan konservasi merupakan mitigasi
untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Berdasarkan mitigasi tersebut untuk
mengimplementasikan diperlukan pendanaan dan MPB merupakan salah satu mekanisme
yang saat ini banyak digunakan. Dengan memanfaatkan MPB diharapkan
negara-negara berkembang, khususnya Indonesia dapat mengambil manfaat dari
makanisme tersebut dalam mengembangkan energi terbarukan dan melakukan
konservasi. Pengembangan ini disamping dapat mengurangi emisi gas rumah kaca
juga mempunyai keuntungan yaitu: mengurangi biaya investasi bagi negara
berkembang, transfer teknologi, dan memperoleh teknologi yang ramah lingkungan.
Proyek
MPB saat ini masih memerlukan biaya dan waktu yang cukup besar. Perlu peran
pemerintah untuk melakukan langkah-langkah dalam mengurangi birokrasi serta
melakukan sosialisasi untuk mendorong proyek-proyek dalam rangka implementasi
MPB.
DAFTAR PUSTAKA
1.
DESDM (2003) Kebijakan
Pengembangan Energi Terbarukan dan Konservasi Energi (Energi Hujau),
Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, Jakarta.
2.
Energy Information Administration (2006) International
Energy Annual 2004, July 2006.
3.
Houghton, J.T., Ding, Y., Griggs, D.J.,
Noguer, M., van der Linder, P.J., Dai, X., Maskell, K., and Johnson, C.A.,
(2001) Climate Change 2001: Scientific
Basic, Cambridge University Press.
4.
McCarthy, J.J., Canziani, O.F., Leary, N.A.,
Dokken, D.J., and White, K.S. (2001) Climate Change 2001: Impacts,
Adaptation, and Vulnerability, Cambridge University Press.
5.
Mimuroto, Y. and Koizumi, K. (2003) Global
Warming Abatement and Coal Supply and Demand, Institute of
Energy Economics Japan (IEEJ), January 2003.
6.
Nordhaus, W.D. (1991) Economic Approaches to
Greenhouse Warming, in Dornbush, R. and Poterba, J.M. (Editors) Global
Warming: Economic Policy Responses, The MIT Press.
7.
Sugiyono, A. (2001) Renewable
Energy Development Strategy in Indonesia: CDM Funding Alternative,
Proceeding of the 5th Inaga Annual Scientific Conference and Exibition, Inaga,
Yogyakarta.
8.
Suharyono, H. and Sastrohartono, C.L.M
(2002) Clean Dvelopment Mechanism
Potential in Indonesia, BPPT, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar