Rabu, 01 Februari 2012

PEMANASAN GLOBAL


1.        PENDAHULUAN

Perubahan iklim dunia merupakan tantangan yang paling serius yang dihadapi pada abad 21. Sebagian besar pakar lingkungan sepakat bahwa terjadinya perubahan iklim merupakan salah satu dampak dari pemanasan global. Meskipun masih belum sepenuhnya dimengerti dengan pasti, peningkatan konsentrasi gas rumah kaca terutama karbon dioksida (CO2), methane (CH4), dinitro-oksida (N2O), perfluorocarbon (PFC), hydrofluorocarbon (HFC) dan sulphur hexafluoride (SF6) di atmosfir bumi diyakini menjadi penyebab timbulnya pemanasan global.
Pemanasan global dapat terjadi karena adanya efek rumah kaca. Gas rumah kaca yang berada di atmosfer bumi dapat disamakan dengan tabir kaca pada pertanian yang menggunakan rumah kaca. Panas matahari yang berupa radiasi gelombang pendek masuk ke bumi dengan menembus tabir gas rumah kaca tersebut. Sebagian panas diserap oleh bumi dan sisanya dipantulkan kembali ke luar angkasa sebagai radiasi gelombang panjang. Namun, panas yang seharusnya dipantulkan kembali ke luar angkasa menyentuh permukaan tabir dan terperangkap di dalam bumi. Seperti proses dalam pertanian rumah kaca, sebagian panas akan ditahan di permukaan bumi dan menghangatkan bumi. Tanpa efek rumah kaca ini maka suhu di permukaan bumi akan lebih rendah dari yang ada sekarang sehingga tidak memungkinkan adanya kehidupan.
Permasalahan muncul ketika konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer bertambah. Dengan meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca, maka akan semakin banyak panas yang ditahan di permukaan bumi dan akan mengakibatkan suhu permukaan bumi menjadi meningkat. Kondisi ini sering disebut pemanasan global. Pemanasan global ini bila tidak ditanggulangi diprakirakan pada tahun 2100 akan dapat meningkatkan suhu udara sebesar 1,4 - 5,8oC relatif terhadap suhu udara pada tahun 1990. Meningkatnya suhu udara ini akan dapat mengakibatkan adanya perubahan iklim yang sangat ekstrim di bumi. Hal ini ditandai dengan terganggunya ekosistem dan mencairnya gunung-gunung es di daerah kutub yang dapat menimbulkan naiknya permukaan air laut sebesar 9 - 88 cm pada tahun 2100 (Houghton et.al., 2001).
Untuk mencegah terjadinya pemanasan global perlu upaya global dalam mengurangi tingkat emisi gas rumah kaca sesegera mungkin. Hal ini dapat dicapai dengan mengurangi penggunaan bahan bakar fosil dan mencegah penggundulan hutan serta melakukan reboisasi. Mengingat sangat perlunya dukungan secara global maka pada tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brazil ditandatangani Kerangka Konvensi untuk Perubahan Iklim (United Nation Framework Convention on Climate Change) oleh 167 Bidang Perencanaan Energi, PTPSE-BPPT negara. Kerangka konvensi ini mengikat secara moral semua negara-negara industri untuk menstabilkan emisi CO2. Indonesia telah meratifikasi konvensi ini melalui Undang Undang No. 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim dan Undang Undang No. 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan Kyoto Protocol. Sebagai negara yang sedang berkembang, Indonesia perlu untuk melaporkan besarnya emisi CO2 yang dihasilkan namum belum berkewajiban untuk mengurangi emisi CO2.
Ada dua hal yang dapat dilakukan untuk menurunkan besarnya emisi gas rumah kaca di sektor pengguna energi, yaitu: melakukan konservasi energi dan menggunakan teknologi energi bersih yang tidak menimbulkan emisi gas rumah kaca. Namum dalam implementasinya perlu suatu mekanisme karena upaya tersebut biasanya memerlukan tambahan biaya. Dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut upaya-upaya dalam mengurangi emisi gas rumah kaca di sektor pengguna energi.
2. PEMANASAN GLOBAL
Perhatian akan masalah pemanasan global sudah ada sejak tahun 1896. Pada waktu itu Arrhenius melakukan perhitungan dengan cermat dan menyimpulkan bahwa kenaikan emisi CO2 di atmosfer sebanyak dua kali lipat akan meningkatkan suhu permukaan bumi sebesar 4 -6oC (Nordhaus, 1991). Namun perhitungan tersebut tidak mendapat perhatian yang serius hingga pada awal tahun 1980 setelah adanya bukti-bukti peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer. Houghton et.al. (2001) mengemukan bahwa sejak awal revolusi industri sampai tahun 1998, konsentrasi CO2 di atmosfer bertambah sebesar 31%. Disamping itu suhu permukaan bumi sudah meningkat sebesar 0,044 oC/dekade selama periode tahun 1861 - 2000 atau sebesar 0,61oC selama periode tahun 1901 - 2000. Pengamatan ini sudah mempertimbangkan adanya efek ketidakpastian tahunan. Pembakaran bahan bakar fosil dan penggundulan hutan merupakan penyebab utama dari bertambahnya konsentrasi gas rumah kaca ini.
2.1. Efek Rumah Kaca
Cuaca di bumi sangat dipengaruhi oleh radiasi matahari. Radiasi matahari yang mencapai bumi mencapai 342 Wm-2. Sekitar 30% dari radiasi tersebut direfeleksikan kembali ke angkasa luar karena adanya awan dan permukaan bumi. Permukaan bumi akan menyerap radiasi matahari sebesar 168 Wm-2, sedangkan atmosfer menyerap 67 Wm-2.
Atmosfer mempunyai beberapa lapis gas, termasuk gas rumah kaca dan awan, yang akan mengemisikan kembali sebagian radiasi infra merah yang diterima ke permukaan bumi. Dengan adanya lapisan ini maka panas yang ada di permukaan bumi akan bertahan dan proses ini dinamakan efek rumah kaca.
Untuk jangka panjang akan terjadi keseimbangan antara radiasi yang masuk dan yang keluar sehingga suhu di bumi mencapai nilai tertentu. Neraca energi rata-rata di bumi akibat radiasi matahari ditunjukkan pada Gambar 1. Meskipun demikian untuk memahami keseluruhan efek rumah kaca dan dampaknya terhadap cuaca di bumi, tidak sesederhana seperti pada gambar tetapi perlu dipertimbangkan adanya umpak balik yang dinamis dan proses transfer energy
Gambar 1.  Neraca Energi Rata-Rata di Bumi






2.2. Emisi Gas Rumah Kaca
Kontribusi gas rumah kaca terhadap pemanasan global tergantung dari jenis gasnya. Gas rumah kaca yang penting kontribusinya terhadap pemanasan global adalah karbon dioksida (CO2), methane (CH4), dinitro-oksida (N2O), perfluorocarbon (PFC), hydrofluoro­carbon (HFC) dan sulphur hexafluoride (SF6). Setiap gas rumah kaca mempunyai potensi pemanasan global (Global Warming Potential -GWP) yang diukur secara relatif berdasarkan emisi CO2 dengan nilai 1. Makin besar nilai GWP makin bersifat merusak. Berdasarkan perhitungan untuk beberapa tahun belakangan ini dapat disimpulkan bahwa kontribusi CO2 terhadap pemanasan global mencapai lebih dari 60% (Mimuroto and Koizumi, 2003). Pada Gambar 2 ditunjukkan kontribusi setiap jenis gas rumah kaca terhadap pemanasan global.
2.3. Kontribusi Sektoral terhadap  Pemanasan Global
Emisi CO2 di dunia meningkat dari sebesar 18,3 milyar ton CO2 pada tahun 1980 menjadi sebesar 27,0 milyar ton CO2 atau rata­rata meningkat sebesar 1,6% per tahun. Amerika Serikat sebagai penyumbang emisi CO2 yang terbesar, yaitu mencapai 21,9% dari total emisi CO2 dunia pada tahun 2004, diikuti oleh China (17,4%) dan India (4,1%). Sedangkan Indonesia hanya menyumbang emisi sebesar 1,2% dari total emisi CO2 dunia. Meskipun Indonesia tidak mempunyai kewajiban untuk mengurangi emisi, namun turut serta berinisiatif melakukan strategi untuk menguranginya. Pada Tabel 1 ditampilkan emisi CO2 dari beberapa negara yang dipilih.
Emisi CO2 dapat berasal dari penggunaan bahan bakar fosil, seperti: batubara, minyak bumi dan gas bumi, serta dari industri semen dan konversi lahan. Penggunaan bahan bakar fosil merupakan sumber utama emisi CO2 di dunia dan mencapai 74% dari total emisi. Konversi lahan mempunyai kontribusi sebesar 24% dan industri semen sebesar 3%. Pada Gambar 3 ditunjukkan kontribusi setiap sektor terhadap emisi CO2. Oleh karena itu, dalam makalah ini selanjutnya hanya CO2 yang berasal dari produksi dan penggunaan energi yang akan dibahas.
2.4. Pembentukan Institusi
Pemanasan global mulai mendapat perhatian yang serius pada pertengahan tahun 1980 sejak World Meteorological Organization (WMO) melakukan penelitian dan mengeluarkan scientific background tentang perubahan iklim global. WMO bersama-sama dengan United Nation Environment Programme (UNEP) membentuk Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada tahun 1988 dan mengusulkan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk melakukan tindakan untuk menanggulangi pemanasan global.
PBB kemudian mengeluarkan resolusi tentang penanggulangan pemansan global untuk saat ini dan generasi mendatang. Resolusi ini ditindak lanjuti dengan mengadakan World Summit di Rio de Janeiro tahun 1992. Hasil pertemuan World Summit adalah konvensi di bidang: biodiversitas, perubahan iklim dan agenda 21. Untuk selanjutnya konvensi untuk perubahan iklim disebut United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).
Selanjutnya berdasarkan UNFCCC sepakat untuk mengadakan rapat tahunan tingkat menteri yang disebut Conference Of the Party (COP) dan rapat lima tahunan setingkat kepala negara. Beberapa hasil yang penting dari penyelenggaraan COP dapat dirangkumkan sebagai berikut. COP 1 di Berlin pada tahun 1995 melahirkan mekanisme pendanaan yang disebut Joint Implementation yang dapat dilakukan antar negara-negara maju dan Activities Implemented Jointly antara negara maju dengan negara berkembang. COP 2 di Genewa pada tahun 1996 tidak menghasilkan kesepakatan yang berarti. Baru pada COP 3 di Kyoto pada tahun 1997 dikeluarkan Kyoto Protocol yang mengharuskan negara maju untuk mengurangi emisi CO2 sebesar 5,2% dari level tahun 1990 pada periode 2008 sampai 2012. Dalam protokol ini ada tiga mekanisme pendanaan yang dapat digunakan yaitu: Joint Implementation, Clean Development Mechanism dan Emission Trading. COP 9 yang diadakan di Milan, Italia membahas lebih lanjut prosedur pengajuan CDM. COP 12 yang baru saja diadakan pada tahun 2006 di Nairobi, Kenya membahas pendanaan spesial dalam rangka menanggulangi pemanasan global.
3.   PENANGGULANGAN DI SEKTOR   PENGGUNA ENERGI
Indonesia mempunyai berbagai sumber energi yang dapat digunakan untuk mendukung pembangunan. Sumber energi tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: sumber energi fosil dan sumber energi terbarukan. Sumber energi fosil terdiri atas minyak bumi, gas alam, dan batubara yang dalam penggunaannya akan menghasilkan emisi CO2. Sedangkan energi terbarukan seperti: energi air, panas bumi, energi angin dan energi surya. Saat ini hanya energi air dan panas bumi yang sudah dikembangkan secara komersial.
Penggunaan sumber energi terbarukan merupakan opsi untuk mengurangi emisi CO2. Cadangan energi terbarukan dinyatakan dalam GW yang merupakan kapasitas terpasang yang mampu untuk dikembangkan. Cadangan energi air sebesar 75,62 GW dan panas bumi sebesar 16,10 GW. Cadangan energi terbarukan ini masih belum dimanfaatkan secara optimal dan sampai tahun 2005 pemanfaatan energi air hanya sebesar 3% dan panas bumi sebesar 2% dari potensi yang ada.

3.1. Inventori dan Mitigasi
Dalam rangka menanggulangi dampak pemanasan global, perlu adanya inventori dan mitigasi. Inventori dilakukan untuk mengetahui sumber emisi gas rumah kaca serta besar emisi yang dihasilkan. Mitigasi dilakukan untuk memperoleh level emisi tertentu dengan mengganti teknologi yang sudah ada dengan teknologi yang baru. Teknologi untuk mitigasi gas rumah kaca dapat dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu: untuk sisi penawaran dan untuk sisi permintaan. Untuk sisi penawaran dapat dilakukan dengan menggunakan sistem konversi yang lebih efisien, mengubah bahan bakar dari energi yang mempunyai emisi tinggi menjadi energi yang mempunyai emisi rendah, dan meningkatkan penggunaan energi terbarukan. Untuk sisi permintaan dapat menggunakan demand side management, dan menggunakan peralatan yang lebih efisien. 
Energi terbarukan seperti pembangkit listrik tenaga air dan panas bumi mempunyai kelebihan sebagai pilihan untuk mitigasi gas rumah kaca. Energi terbarukan dapat membangkitkan tenaga listrik tanpa melalui pembakaran tidak seperti pada penggunakan energi fosil. Pembangkit listrik tenaga air dapat dikatakan bebas dari emisi gas rumah kaca, sedangkan pembangkit listrik tenaga panas bumi hanya menghasilkan seperenam dari emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari penggunaan gas alam untuk pembangkit listrik.

3.2. Pendanaan
Kyoto Protocol membuat terobosan untuk membantu negara maju dalam mengurangi emisi gas rumah kaca bekerja sama dengan negara berkembang. Salah satu mekanisme yang saat ini berkembang pesat adalah Clean Development Mechanism.
Clean Development Mechanism atau dalam bahasa Indonesia disebut Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB) diharapkan dapat menurunkan emisi gas rumah kaca di negara maju di satu sisi dan di sisi lain membantu negara berkembang untuk menggunakan teknologi bersih. Dalam jangka panjang negara berkembang diharapkan dapat memperoleh transfer teknologi dari negara maju dan mendapat dukungan untuk melaksanakan pembangunan yang berkelanjutan.
Saat ini Indonesia sudah mempunyai komisi untuk melakukan seleksi proyek MPB. Badan nasional yang memberikan persetujuan akan proyek MPB dinamakan dengan Komisi Nasional Mekanisme Pembangunan Bersih. Kriteria dan indikator pembangunan
PENUTUP
Sektor pengguna energi merupakan sektor yang paling besar kontribusinya terhadap emisi gas rumah kaca. Penggunaan energi terbarukan dan konservasi merupakan mitigasi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Berdasarkan mitigasi tersebut untuk mengimplementasikan diperlukan pendanaan dan MPB merupakan salah satu mekanisme yang saat ini banyak digunakan. Dengan memanfaatkan MPB diharapkan negara-negara berkembang, khususnya Indonesia dapat mengambil manfaat dari makanisme tersebut dalam mengembangkan energi terbarukan dan melakukan konservasi. Pengembangan ini disamping dapat mengurangi emisi gas rumah kaca juga mempunyai keuntungan yaitu: mengurangi biaya investasi bagi negara berkembang, transfer teknologi, dan memperoleh teknologi yang ramah lingkungan.
Proyek MPB saat ini masih memerlukan biaya dan waktu yang cukup besar. Perlu peran pemerintah untuk melakukan langkah-langkah dalam mengurangi birokrasi serta melakukan sosialisasi untuk mendorong proyek-proyek dalam rangka implementasi MPB.

























DAFTAR PUSTAKA
1.          DESDM (2003) Kebijakan Pengembangan Energi Terbarukan dan Konservasi Energi (Energi Hujau), Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, Jakarta.
2.         Energy Information Administration (2006) International Energy Annual 2004, July 2006.
3.         Houghton, J.T., Ding, Y., Griggs, D.J., Noguer, M., van der Linder, P.J., Dai, X., Maskell, K., and Johnson, C.A., (2001) Climate Change 2001: Scientific Basic, Cambridge University Press.
4.         McCarthy, J.J., Canziani, O.F., Leary, N.A., Dokken, D.J., and White, K.S. (2001) Climate Change 2001: Impacts, Adaptation, and Vulnerability, Cambridge University Press.
5.         Mimuroto, Y. and Koizumi, K. (2003) Global Warming Abatement and Coal Supply and Demand, Institute of Energy Economics Japan (IEEJ), January 2003.
6.         Nordhaus, W.D. (1991) Economic Approaches to Greenhouse Warming, in Dornbush, R. and Poterba, J.M. (Editors) Global Warming: Economic Policy Responses, The MIT Press.
7.         Sugiyono, A. (2001) Renewable Energy Development Strategy in Indonesia: CDM Funding Alternative, Proceeding of the 5th Inaga Annual Scientific Conference and Exibition, Inaga, Yogyakarta.
8.         Suharyono, H. and Sastrohartono, C.L.M (2002) Clean Dvelopment Mechanism Potential in Indonesia, BPPT, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar