Senin, 06 Februari 2012

HUJAN BUATAN

TEKNOLOGI MODIFIKASI CUACA (TMC)…. HUJAN BUATAN

Terminologi Hujan Buatan
Pernah mendengar istilah hujan buatan? istilah hujan buatan adalah hujan yang sengaja dibuat oleh manusia. Sebenarnya istilah hujan buatan tidak dapat diartikan secara harfiah sebagai pekerjaan membuat atau menciptakan hujan, karena teknologi ini hanya berupaya untuk meningkatkan dan mempercepat jatuhnya hujan, yakni dengan cara melakukan penyemaian awan (cloud seeding) menggunakan bahan-bahan yang bersifat higroskopik (menyerap air) sehingga proses pertumbuhan butir-butir hujan dalam awan akan meningkat dan selanjutnya akan mempercepat terjadinya hujan.

Istilah yang lebih tepat untuk mendefinisikan aktivitas Hujan Buatan adalah Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC), karena pada dasarnya hujan buatan merupakan aplikasi dari suatu teknologi. TMC merupakan usaha manusia untuk meningkatkan curah hujan yang turun secara alami dengan mengubah proses fisika yang terjadi di dalam awan. Proses fisika yang diubah (diberi perlakuan) di dalam awan dapat berupa proses tumbukan dan penggabungan (collision and coalescense) atau proses pembentukan es (ice nucleation). Saat ini TMC menjadi salah satu solusi teknis yang dapat dimanfaatkan untuk menanggulangi bencana yang ditimbulkan oleh karena adanya penyimpangan iklim/cuaca. TMC ini sudah dipakai oleh lebih dari 60 negara untuk berbagai kepentingan.
suhu muka laut pada kondisi normal

Pesawat sedang melakukan penyemaian awan untuk merangsang terjadinya hujan
Sejarah Modifikasi Cuaca di Dunia
Sejarah modifikasi cuaca di dunia diawali pada tahun 1946 ketika Vincent Schaefer dan Irving Langmuir mendapatkan fenomena terbentuknya kristal es dalam lemari pendingin, saat schaever secara tidak sengaja melihat hujan yang berasal dari nafasnya waktu membuka lemari es. Kemudian pada tahun 1947, Bernard Vonnegut mendapatkan terjadinya deposit es pada kristal perak iodida (Agl) yang bertindak sebagai inti es. Vonnegut tanpa disengaja suatu hari melihat titik air di udara ketika sebuah pesawat tebang dalam rangka reklame Pepsi Cola, membuat tulisan asap nama minuman itu. Kedua penemuan penting ini adalah merupakan tonggak dimulainya perkembangan modifikasi cuaca di dunia untuk selanjutnya.

Sejarah Modifikasi Cuaca di Indonesia
Kegiatan modifikasi cuaca di Indonesia atau yang lebih dikenal dengan istilah hujan buatan dikaji dan diuji pertama kali pada tahun 1977 atas gagasan Presiden Soeharto (Presiden RI saat itu) yang difasilitasi oleh Prof.Dr.Ing. BJ Habibie melalui Advance Teknologi sebagai embrio Badan pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), dibawah asistensi Prof. Devakul dari Royal Rainmaking Thailand.

Pada Tahun 1985 dibentuk satu unit di BPPT yang bernama Unit Pelayanan Teknis Hujan Buatan (UPT-HB) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Negara Riset dan Teknologi / Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi No: SK/342/KA/BPPT/XII/1985 fungsinya adalah memberikan pelayanan dalam hal meningkatkan intensitas (menambah) curah hujan sebagai upaya Pemerintah dalam menjaga ketersediaan air pada waduk yang berfungsi sebagai sumber air untuk irigasi dan PLTA.
                                                    Proses Pembentukan Awan           
Udara di sekeliling kita banyak mengandung uap air. Tidak terhitung banyaknya gelembung udara yang terbentuk oleh busa laut secara terus-menerus dan menyebabkan partikel-partikel air terangkat ke langit. Partikel-partikel yang disebut dengan aerosol inilah yang berfungsi sebagai perangkap air dan selanjutnya akan membentuk titik-titik air. Selanjutnya aerosol ini naik ke atmosfer, dan bila sejumlah besar udara terangkat ke lapisan yang lebih tinggi, maka ia akan mengalami pendinginan dan selanjutnya mengembun. Kumpulan titik-titik air hasil dari uap air dalam udara yang mengembun inilah yang terlihat sebagai awan. Makin banyak udara yang mengembun, makin besar awan yang terbentuk.
Proses Pembentukan Awan

Jenis-jenis awan berdasarkan ketinggiannya dapat dlihat pada gambar berikut.
Jenis-jenis awan berdasarkan ketinggiannya.
Awan yang dijadikan sasaran dalam kegiatan hujan buatan adalah jenis awan Cumulus (Cu) yang aktif, dicirikan dengan bentuknya yang seperti bunga kol. Awan Cumulus terjadi karena proses konveksi.
Awan Cumulus terbagi dalam 3 jenis, yaitu: Strato Cumulus (Sc) yaitu awan Cumulus yang baru tumbuh ; Cumulus, dan Cumulonimbus (Cb) yaitu awan Cumulus yang sangat besar dan mungkin terdiri beberapa awan Cumulus yang bergabung menjadi satu.
http://idkf.bogor.net/yuesbi/e-DU.KU/edukasi.net/Fenomena.Alam/Mengenal.Teknologi.Modifikasi.Cuaca/image/hal6.jpg
Jenis awan Cumulus (Cu) yang bentuknya seperti bunga kol, merupakan jenis awan yang dijadikan sebagai sasaran penyemaian dalam kegiatan hujan buatan

Awan Dingin dan Awan Hangat
Berdasarkan suhu lingkungan fisik atmosfer dimana awan tersebut berkembang, awan dibedakan atas awan dingin (cold cloud) dan awan hangat (warm cloud). Terminologi awan dingin diberikan untuk awan yang semua bagiannya berada pada lingkungan atmosfer dengan suhu di bawah titik beku (< 00C), sedangkan awan hangat adalah awan yang semua bagiannya berada diatas titik beku ( > 00C).

Awan dingin adalah awan yang berada pada daerah lintang menengah dan tinggi, dimana suhu udara dekat permukaan tanah saja bisa mencapai nilai <00C. Di daerah tropis seperti halnya di Indonesia, suhu udara dekat permukaan tanah sekitar 20-300C, dasar awan mempunyai suhu sekitar 180C. Namun demikian puncak awan dapat menembus jauh ke atas melampaui titik beku, sehingga sebagian awan merupakan awan hangat, sebagian lagi diatasnya merupakan awan dingin. Awan semacam ini disebut awan campuran (mixed cloud).
http://idkf.bogor.net/yuesbi/e-DU.KU/edukasi.net/Fenomena.Alam/Mengenal.Teknologi.Modifikasi.Cuaca/image/hal7.jpg
Ilustrasi awan dingin dan awan hangat

Proses Terjadinya Hujan Pada Awan Dingin

Pada awan dingin hujan dimulai dari adanya kristal-kristal es. yang berkembang membesar melalui dua cara yaitu deposit uap air atau air super dingin (supercooled water) langsung pada kristal es atau melalui penggabungan menjadi butiran es. Keberadaan kristal es sangat penting dalam pembentukan hujan pada awan dingin, sehingga pembentukan hujan dari awan dingin sering juga disebut proses kristal es.

Hujan, salju dan hujan batu es terutama disebabkan oleh air yang menjadi dingin. Salju terbentuk dalam atmosfer atas yang suhunya dibawah titik beku. Waktu jatuh lewat atmosfer salju mencair dan menjadi hujan. Pada musim dingin, salju jatuh tanpa menjadi cair dan masih berbentuk salju. Butiran salju terdiri dari kristal es kecil-kecil.

Sewaktu udara naik lebih tinggi ke atmosfer, terbentuklah titik-titik air, dan terbentuklah awan. Ketika sampai pada ketinggian tertentu yang suhunya berada di bawah titik beku, titik air dalam awan itu membeku menjadi kristal es kecil-kecil. Udara sekelilingnya yang tidak begitu dingin membeku pada kristal tadi. Dengan demikian kristal bertambah besar dan menjadi butir-butir salju. Bila menjadi terlalu berat, salju itu turun. Bila melalui udara lebih hangat, salju itu mencair menjadi hujan. Pada musim dingin salju jatuh tanpa mencair.

Proses Terjadinya Hujan Pada Awan Hangat

Ketika uap air terangkat naik ke atmosfer, baik oleh aktivitas konveksi ataupun oleh proses orografis (karena adanya halangan gunung atau bukit), maka pada level tertentu partikel aerosol (berukuran 0,01 - 0,1 mikron) yang banyak beterbangan di udara akan berfungsi sebagai inti kondensasi (condensation nucleus) yang menyebabkan uap air tersebut mengalami pengembunan.  Sumber utama inti kondensasi adalah garam yang berasal dari golakan air laut. Karena bersifat higroskofik maka sejak berlangsungnya kondensasi, partikel berubah menjadi tetes cair (droplets) dan kumpulan dari banyak droplets membentuk awan. Partikel air yang mengelilingi kristal garam dan partikel debu menebal, sehingga titik-titik tersebut menjadi lebih berat dari udara, mulai jatuh dari awan sebagai hujan.

Jika diantara partikel terdapat partikel besar (Giant Nuclei : GN : 0,1 - 5 mikron) maka ketika kebanyakan partikel dalam awan baru mencapai sekitar 30 mikron, ia sudah mencapai ukuran sekitar 40 - 50 mikron. Dalam gerak turun ia akan lebih cepat dari yang lainnya sehingga bertindak sebagai kolektor karena sepanjang lintasannya ke bawah ia menumbuk tetes lain yang lebih kecil, bergabung dan jauh menjadi lebih besar lagi (proses tumbukan dan penggabungan). Proses ini berlangsung berulang-ulang dan merambat keseluruh bagian awan. Bila dalam awan terdapat cukup banyak GN maka proses berlangsung secara autokonversi atau reaksi berangkai (Langmuir Chain Reaction) di seluruh awan, dan dimulailah proses hujan dalam awan tersebut, secara fisik terlihat dasar awan menjadi lebih gelap.

Hujan turun dari awan bila melalui proses tumbukan dan penggabungan, droplets dapat berkembang menjadi tetes hujan berukuran 1.000 mikron atau lebih besar. Pada keadaan tertentu partikel-partikel dengan spektrum GN tidak tersedia, sehingga proses hujan tidak dapat berlangsung atau dimulai, karena proses tumbukan dan penggabungan tidak terjadi.
http://idkf.bogor.net/yuesbi/e-DU.KU/edukasi.net/Fenomena.Alam/Mengenal.Teknologi.Modifikasi.Cuaca/image/hal9.jpg
Tipikal Ukuran Diameter Tetes Hujan (Rain Drop), Tetes Awan (Cloud Droplet), dan Inti Kondensasi (Condensation Nucleus)
( Sumber : http://rst.gsfc.nasa.gov/Sect14/Sect14 1d.html)
Ilustrasi proses tumbukan dan penggabungan (collision and coalescense) dalam awan sebagai berikut:
A. Tetes-tetes awan (droplets) yang berukuran kecil bergerak naik keatas terbawa gerakan udara secara vertikal (updraft); sementara itu sudah ada tetes awan yang menjadi partikel berukuran lebih besar (Giant Nuclei) yang karena beratnya melebihi berat dari udara sehingga sudah mulai bergerak jauh ke bawah.
B.  Partikel Besar (GN) ini bertindak sebagai "pengumpul" tetes-tetes awan yang lain, karena sepanjang lintasannya ke bawah ia menumbuk tetes lain yang lebih kecil, bergabung dan jauh menjadi lebih besar lagi (proses tumbukan dan  penggabungan).
C.  Semakin banyak tetes lain yang tertumbuk dan bergabung, maka partikel tersebut akan semakin besar ukurannya, dan lama kelamaan akan terbelah membentuk partikel (GN) baru.
D.  Proses ini berlangsung berulang-ulang dan merambat keseluruh bagian awan, dan bila dalam awan terdapat cukup banyak GN maka proses berlangsung secara autokonversi atau reaksi berantai (Langmuir Chain Reaction) di seluruh awan, dan dimulailah proses hujan dalam awan tersebut.

Bagaimana TMC Dapat Menambah Curah Hujan ?

Prinsip dasar penerapan TMC untuk menambah curah hujan adalah mengupayakan agar proses terjadinya hujan menjadi lebih efektif. Upaya dilakukan dengan cara mempengaruhi proses fisika yang terjadi di dalam awan, yang dapat dilakukan dengan dua cara, tergantung dimana lingkungan awan tersebut berada. Untuk bagian awan dingin, curah hujan akan bertambah jika proses pembentukan es di dalam awan juga semakin efektif. Proses pembentukan es dalam awan akan semakin efektif jika awan disemai dengan menggunakan bahan semai berupa perak iodida (Agl).

Untuk bagian awan hangat, upaya dilakukan dengan menambahkan partikel higroskopik dalam spektrum Ultra Giant Nuclei (UGN : berukuran lebih dari 5 mikron ) ke dalam awan yang sedang dalam masa berkembang atau matang sehingga proses hujan dapat segera dimulai serta berkembang ke seluruh awan. Penambahan partikel dengan spektrum CCN (Cloud Condencation Nucleus: Inti Kondensasi Awan) tidak perlu dilakukan, karena partikel dengan spektrum ini sudah disediakan sendiri oleh alam. Dengan demikian awan tidak perlu dibuat, karena dengan tersedianya CCN awan dapat terbentuk dengan sendirinya bila kelembaban udara cukup. Pada kondisi tertentu, dengan masuknya partikel higroskopik berukuran UGN kedalam awan, maka proses hujan (tumbukan dan penggabungan) dapat dimulai lebih awal, durasi hujan lebih lama, dan daerah hujan pada awan semakin luas, serta frekuensi hujan di tanah semakin tinggi.

Dari sinilah didapatkan tambahan curah hujan. Injeksi partikel berukuran UGN ke dalam awan memberikan dua manfaat sekaligus, yang pertama adalah mengefektifkan proses tumbukan dan penggabungan sehingga menginisiasi (mempercepat) terjadinya proses hujan, dan yang kedua adalah mengembangkan proses hujan ke seluruh daerah di dalam awan. Bahan semai yang digunakan adalah bahan yang memiliki sifat higroskopik dalam bentuk super fine powder (berbentuk serbuk yang berukuran sangat halus), paling sering digunakan adalah NaCl, atau bisa juga berupa CaCl2 atau Urea.

Berikut adalah animasi yang menggambarkan perbedaan antara sekuens pertumbuhan awan yang tidak disemai dengan awan yang disemai :
Sekuens awan tidak disemai
a.    5 menit : awan Kumulus mulai tumbuh.
b.    10 menit : Mulai terjadi tetes-tetes besar. Awan makin besar
c.    15 Menit : Tetes besar semakin banyak dan mulai terjadi kristal es. Awan mencapai tinggi maksimum
d.    20 menit : Kristal-kristal semakin besar, tetes air di dalam awan berkurang. Kristal es jatuh dan mencair menjadi tetes air hujan.
e.    30 menit : Hujan ringan berlangsung dan awan membuyar.

Sekuens awan yang disemai
a.      5 menit : awan Kumulus mulai tumbuh.
b.      10 menit : Mulai terjadi tetes-tetes besar. Awan makin besar
c.      15 menit : Sejumlah bahan semai yang terkonsentrasi dimasukan ke dalam awan dari dasar awan maupun dari puncak awan.
d.      20 menit : Terjadi pelepasan panas laten ketika air supercooled membeku menjadi es dan awan tumbuh menjadi sangat besar.
e.      30 menit : Jumlah air yang terlibat di dalam awan semakin besar sehingga curah hujan meningkat.

METODA PENYEMAIAN AWAN

Dalam penerapan TMC, ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menyampaikan bahan semai ke dalam awan. Yang paling sering dan biasa dilakukan adalah menggunakan wahana pesawat terbang. Selain menggunakan pesawat terbang, modifikasi pesawat terbang juga dapat dilakukan dari darat dengan menggunakan sistem statis melalui wahana Ground Base Generator (GBG) pada daerah pegunungan untuk memodifikasi awan-awan orografik dan juga menggunakan wahana roket yang diluncurkan ke dalam awan.
http://idkf.bogor.net/yuesbi/e-DU.KU/edukasi.net/Fenomena.Alam/Mengenal.Teknologi.Modifikasi.Cuaca/image/hal14.jpg
Gambar 10. Macam-macam metoda penyampaian bahan semai ke dalam awan
Di Indonesia untuk saat ini yang sudah operasional dan dikuasai teknologinya berubah TMC dengan menggunakan wahana pesawat terbang.  TMC sistem GBG saat ini masih dalam tarap ujicoba dan telah terpasang sejumlah menara di daerah Puncak, Bogor (lereng Gunung Gede - Pangrango), sedangkan untuk wahana roket baru sebatas kajian dan dalam wacana akan mulai dicoba di Indonesia.

Wahana Pesawat Terbang
Berikut adalah beberapa contoh gambar penyemaian awan dari pesawat terbang :
http://idkf.bogor.net/yuesbi/e-DU.KU/edukasi.net/Fenomena.Alam/Mengenal.Teknologi.Modifikasi.Cuaca/image/hal15a.jpg
Pesawat terbang jenis Cassa NC 212-200 sedang melepaskan bahan semai berupa serbuk garam NaCI melalui airscooper yang terpasang pada bagian bawah pesawat. bahan semai dilepaskan pada medan updraft yang ada di sekitar dasar awan (jenis aan hangat).
http://idkf.bogor.net/yuesbi/e-DU.KU/edukasi.net/Fenomena.Alam/Mengenal.Teknologi.Modifikasi.Cuaca/image/hal15b.jpg
Selain berupa serbuk (powder), bahan semai dapat pula dikemas dalam bentuk flare yang dipasang pada bagian sayap ataupun bawah pesawat. Partikel bahan semai masuk ke dalam awan jika flare terbakar.
http://idkf.bogor.net/yuesbi/e-DU.KU/edukasi.net/Fenomena.Alam/Mengenal.Teknologi.Modifikasi.Cuaca/image/hal15c.jpg
Bahan semai jenis ejectable flare dimasukkan ke dalam awan dengan cara ditembakkan dari pesawat pada bagian puncak awan (jenis awan dingin).

Ground Base Generator
Ground Base generator (GBG) merupakan salah satu metoda alternatif untuk menyampaikan bahan semai ke dalam awan, yang pada prinsipnya dengan memanfaatkan potensi topografi dan angin lembah (valley breeze), yaitu angin lokal yang berhembus ke atas pegunungan pada siang hari dengan mengikuti kemiringan permukaan gunung. Bahan semai dikemas dalam bentuk flare yang dibakar dari atas menara pada ketinggian tertentu. Kembang api yang merupakan hasil pembakaran dari flare dengan bahan higroskopik itu ditujukan untuk mengatur partikel Cloud Condensation Nuclei (CCN) yang berukuran sangat halus ke dalam awan sehingga diharapkan mampu merangsang terjadinya hujan.

GBG aslinya digunakan di daerah lintang menengah dan tinggi dengan suhu lingkungan berada di bawah titik beku (<00C), namun saat ini sudah mulai diterapkan di Indonesia meski masih dalam taraf ujicoba. Sejumlah menara GBG telah terpasang menyebar di kawasan Puncak, Bogor (lereng Gunung Gede - Pangrango) dengan tujuan untuk menyemai awan-awan orografis yang melintas di kawasan Puncak. Jika setiap awan yang melintas dapat disemai, maka hujan dapat turun lebih awal sehingga tidak terjadi penumpukan awan yang dapat menimbulkan hujan lebat di daerah tersebut sehingga diharapkan akan mampu memperkecil resiko banjir untuk wilayah Jakarta dan sekitarnya.
http://idkf.bogor.net/yuesbi/e-DU.KU/edukasi.net/Fenomena.Alam/Mengenal.Teknologi.Modifikasi.Cuaca/image/hal16.jpg
Penyemaian awan menggunakan sistem statis Ground Base Generator (GBG)
yang memanfaatkan awan-awan orografis pada daerah pegunungan

Wahana Roket
Roket dapat pula dimanfaatkan sebagai wahana untuk menyampaikan bahan semai ke dalam awan. Metode ini sudah banyak dikembangkan oleh negar-negara di Eropa. Saat ini BPPT bekerjasama dengan LAPAN tengah menjajaki kemungkinan teknologi ini untuk diaplikasikan di Indonesia.

http://idkf.bogor.net/yuesbi/e-DU.KU/edukasi.net/Fenomena.Alam/Mengenal.Teknologi.Modifikasi.Cuaca/image/hal17.jpg
Penyemaian awan menggunakan wahana roket yang ditembakkan ke dalam awan dari darat.

Evaluasi Hasil TMC
Pengukuran hasil TMC dapat ditinjau dari hasil tambahan air hujan selama periode dilakukannya kegiatan modifikasi cuaca (hujan buatan) di daerah target. Ada dua pendekatan besara dalam evaluasi hasil TMC yaitu dari segi curah hujan dan aliran.

Evaluasi penambahan curah hujan diukur melalui pendekatan atau estimasi menggunakan daerah kontrol sebagai pembanding untuk daerah target. Syarat daerah kontrol antara lain berada di luar daerah target dan tidak terkontaminasi dengan bahan semai yang dilepaskan, serta memiliki karakteristik curah hujan yang berkorelasi kuat dengan curah hujan di daerah target. Selisih antara besarnya curah hujan rata-rata di daerah target dengan besarnya curah hujan rata-rata di daerah kontrol selama periode kegiatan hujan buatan dinyatakan sebagai tambahan curah hujan hasil TMC.

Metode Evaluasi hasil TMC lainnya adalah melalui pendekatan debit aliran (inflow) di daerah target. Prinsip dari metode ini adalah membandingkan nilai debit aliran selama periode kegiatan hujan buatan dengan nilai debit saat tidak ada pelaksanaan hujan buatan. Selisih besarnya debit aliran diantara kedua periode tersebut dinyatakan sebagai penambahan aliran hasil TMC.

Kualitas Air Hujan Hasil TMC
Kegiatan TMC ini ramah lingkungan. Bahan yang digunakan untuk penyemaian awan juga dipergunakan pada kehidupan sehari-hari. Contohnya NaCI, bahan ini banyak terdapat di atmosfer sebagai hasil dinamika air laut, dan pada kehidupan sehari-hari biasa digunakan sebagai bahan masakan ataupun dalam pertanian.

Dari sisi konsentrasi, satu butir bahan higroskopik berukuran 50 mikro mengalami pengenceran hingga satu juta kali ketika menjadi tetes hujan berukuran 2.000 mikron. Hasil analisis kualitas air hujan dari beberapa kali kegiatan TMC telah membuktikan bahwa parameter kualitas air hujan maupun badan-badan air masih aman untuk digunakan dalam kehidupan sehari-hari.

Pemanfaatan TMC di Indonesia
Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) sudah banyak dirasakan manfaatnya oleh berbagai pihak. Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Pertanian, Departemen Kehutanan, Perusahaan Listrik negara (PLN), Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (Bakornas PB), Pihak Pengelola Waduk seperti Perum Jas Tirta I dan II, ataupun perusahaan swasta seperti PT INCO adalah beberapa contoh para pengguna jasa teknologi ini.

Saat ini pemanfaatan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) atau hujan buatan tidak lagi hanya terbatas untuk keperluan pengisian air pada waduk/bendung yang berfungsi sebagai sumber air untuk irigasi ataupun PLTA saja, namun juga telah banyak dimanfaatkan untuk mengantisipasi dan mengatasi berbagai bencana yang disebabkan oleh kondisi iklim dan cuaca lainnya, contohnya untuk mengatasi permasalahan kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan yang terjadi hampir setiap tahun di indonesia.

Secara teori, teknologi ini juga mempunyai kemampuan untuk mengantisipasi bencana banjir. Namun sejauh ini efektifitas TMC untuk mengantisipasi banjir belum terukur karena belum pernah dilakukan.
http://idkf.bogor.net/yuesbi/e-DU.KU/edukasi.net/Fenomena.Alam/Mengenal.Teknologi.Modifikasi.Cuaca/image/hal20a.jpg
Waduk Kedung Ombo di Jawa Tengah, yang sering dijadikan target kegiatan hujan buatan
secara garis besar, pedoman penentuan waktu pelaksanaan dan pemanfaatan TMC untuk mengatasi dan mengantisipasi berbagai masalah bencana iklim dan cuaca di Indonesia dapat dilihat pada gambar berikut. :
http://idkf.bogor.net/yuesbi/e-DU.KU/edukasi.net/Fenomena.Alam/Mengenal.Teknologi.Modifikasi.Cuaca/image/hal20b.jpg

Pedoman penentuan waktu pelaksanaan TMC untuk mengantisipasi
berbagai masalah bencana iklim dan cuaca di Indonesia.


Minggu, 05 Februari 2012

DAERAH ALIRAN SUNGAI


EKOSISTEM DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
1. PENDAHULUAN
Konsep strategi pengelolaan DAS sudah dikenal dibanyak negara maju dan negara berkembang (Philipina, Cina. Jepang dll). Pengelolaan DAS seperti di Indonesia, negara-negara di Afrika dan Amerika Latin dan dinegara Asia lainnya, belum dapat diharapkan hasilnya karena belum adanya kerangka kerja pengelolaan DAS nasional yang benar, sehingga disana-sini timbul masalah kerusakan DAS. Akibat pengelolaan sumber DAS yang buruk dimasa lalu dan sekarang ternyata telah mengurangi secara berarti kondisi ekonomi, sosial dan lingkungan disuatu negara/daerah.
Proyek-proyek pengelolaan DAS pada saat itu lebih menekankan pada pembangunan infrastruktur fisik kegiatan konservasi lahan untuk mencegah banjir dan erosi yang hampir seluruhnya dibiayai oleh pemerintah dan bantuan asing. Namun walau upaya pengelolaan DAS yang sudah cukup lama dilakukan, ternyata karena kompleksitas masalah, hasilnya belum memadai, terutama yang berkaitan dengan pembangunan SDM dan kelembagaan masyarakat. Selama ini terdapat beberapa kesalahan pembenaran pengelolaan yang menyebabkan perbaikan kerusakan DAS seringkali tidak memberikan hasil yang optimum dan malah memperparah keadaan. Sebab-sebab kerusakan DAS antara lain timbul akibat :
a.  Perencanaan bentuk penggunaan lahan dan praktek pengelolaan yang tidak sesuai,
b.  Pertambahan jumlah penduduk baik secara alami maupun buatan,
c.   Kemiskinan dan kemerosotan ekonomi akibat keterbatasan sumber daya manusia,  sumber alam dan mata pencaharian,
d.  Kelembagaan yang ada kurang mendukung pelayanan kepada para petani di hulu /hutan,
e.  Kebijakan perlindungan dan peraturan legislatip, tidak membatasi kepemilikan penggunaan lahan,
f.   Ketidakpastian penggunaan hak atas tanah secara defakto pada lahan hutan.

Kerusakan DAS terjadi dibanyak tempat dengan kuantitas yang berbeda sehingga menimbulkan :
a.  Penurunan kapasitas produksi sumber lahan akibat erosi tanah dan timbulnya perubahan kondisi hidrologi, biologi, kimia dan sifat fisik tanh,
b.  Pengurangan kualitas dan atau kuantitas air permukaan dan air tanah sehingga menambah resiko kerusakan akibat banjir di hilir,
c.   Pengurangan kualitas dan atau kuantitas sumber biomassa alam dan mengurangi perlindungan terhadap penutup permukaan lahan oleh tanaman,
d.  Penurunan genetik, jenis dan keragaman ekosistim didalam dan diluar DAS,
e.  Kerusakan ekosistim terumbu karang di sekitar pesisir pantai.
Untuk membahas dan mempelajari masalah pengelolaan DAS secara berkelanjutan, maka perlu diketahui mengenai istilah, pengertian dan definisi yang berkaitan dengan pengelolaan DAS tersebut, yaitu :
Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu daerah yang dibatasi oleh topografi alami, dimana semua air hujan yang jatuh didalamnya akan mengalir melalui suatu sungai dan keluar melalui suatu outlet pada sungai tsb, atau merupakan satuan hidrologi yang menggambarkan dan menggunakan satuan fisik-biologi dan satuan kegiatan sosial ekonomi untuk perencanaan dan pengelolaan sumber daya alam.
Pendekatan DAS menggunakan pengelolaan DAS untuk perencanaan dan pelaksanaan kegiatan-kegiatan pembangunan sumber daya alam. Yang ditanamkan dalam pendekatan ini adalah pengakuan adanya hubungan erat antara lahan dan air dan antara daerah hulu dan hilir, serta pelaksanaan praktek yang tepat, sesuai dengan sasaran.
Pengertian Pengelolaan DAS yaitu merupakan suatu kegiatan menggunakan semua sumber daya alam/biofisik yang ada, sosial-ekonomi secara rasional untuk menghasilkan produksi yang optimum dalam waktu yang tidak terbatas (sustainable), menekan bahaya kerusakan seminimal mungkin dengan hasil akhir kuantitas dan kualitas air yang memenuhi persyaratan (Sinukaban, N. 2000).
Tujuan pengelolaan DAS adalah Sustainable Watershed Development dengan memanfaatkan sumber daya alam didalam DAS secara berkelanjutan dan tidak membahayakan lingkungan di sekitarnya.
Praktek Pengelolaan DAS adalah suatu kegiatan perubahan / upaya pengelolaan dalam penggunaan lahan, seperti : penutup tanaman dan kegiatan nonstruktur lainnya serta kegiatan struktur yang dilakukan di dalam DAS untuk mencapai suatu tujuan.
Konsep dasar pengelolaan DAS adalah bahwa keberhasilan pengelolaan akan terwujud bila seluruh pengambil kebijakan seperti : pemerintah, badan pemerintahan negara dan internasional, lembaga keuangan dan masyarakat sendiri ikut berperanan secara aktip mengelola DAS untuk memperbaiki kesejahteraan dan sosial ekonomi negara dan manusia. Setiap kegiatan pengelolaan dilakukan berdasarkan pendekatan secara komprehensif oleh semua pihak terkait dengan menggali semua kemampuan potensialnya seperti : pendistribusian makanan yang merata, luas lahan, produksi kayu dan bahan bakar, sistem hidrologi, penyediaan air irigasi, mengurangi kemungkinan banjir, kekeringan dan bahaya alam lainnya seperti erosi, penggaraman dan penggurunan. Juga kebutuhan akan infrastruktur (sarana dan prasarana), pemasaran dan proses perbaikan kondisi masyarakat dan lingkungan sosial-ekonomi seperti : fasilitas kridit, koperasi, pelayanan kesehatan dan pendidikan yang terjangkau.
Ciri-ciri pengelolaan yang baik yaitu menghasilkan produktifitas yang tinggi dengan meningkatnya : pendapatan; jumlah dan distribusi kualitas dan kuantitas yang baik; mempunyai sifat lentur dan azaz pemerataan.
Indikator pengelolaan DAS yang baik adalah produksi yang berkelanjutan; kerusakan lahan dan air minimum; distribusi hasil air yang berkualitas dan berkuantitas baik; teknologi yang dipakai dapat diterima; dan mensejahterakan seluruh masyarakat yang terkait. Untuk menghasilkan tujuan tsb diperlukan teknologi pengelolaan DAS untuk mengurangi bahaya banjir dan erosi dimusin hujan dan menaikan debit air sungai pada waktu musim kering. Model-model simulasi hidrologi digunakan untuk mendapatkan perubahan tsb berdasarkan teknologi konservasi tanah berupa : cara agronomi; vegetatip; mekanis; dan manajemen. Keberhasilan pengelolaan DAS bukan hanya semata dari tujuan, namun yang penting adalah bagaimana cara mencapai tujuan tsb. Untuk itu diperlukan suatu “usaha/strategi pengelolaan DAS secara berkelanjutan”.


Prinsip umum pengelolaan DAS diidentifikasikan oleh Black (1970), yaitu :
a.  Ekologi alami DAS merupakan suatu sistim dan keseimbangan yang dinamis,
b.  Mempunyai faktor-faktor yang mempengaruhi run-off,
c.  Distribusi air tidak merata dalam siklus hidrologi, sehubungan dengan praktek
pengelolaan DAS.
2. KOMPONEN EKOSISTEM DAS
Komponen Biotik
Komponen biotik seperti disinggung di atas tersusun atas berbagai jenis organisme. Komponen biotik  mencakup tumbuhan, hewan, dan mikroorganisme. Masing-masing memiliki peranan yang berbeda dalam sebuah ekosistem.
a.  Produsen
Produsen merupakan kelompok organisme yang mampu memanfaatkan secara langsung energi dari lingkungan abiotik. Produsen terbesar dalam bumi ini adalah tumbuhan. Tumbuhan memiliki kemampuan melaksanakan fotosintesis. Fotosintesis merupakan proses yang mengubah senyawa anorganik (karbondioksida dan uap air), menjadi senyawa organik berupa gula (glukosa dan gula lain seperti triosa-posfat). Senyawa tersebut menyimpan energi dalam bentuk ikatan kimia.
b.  Konsumen
Konsumen dimulai dari kelompok herbivora hingga karnivora seperti elang. Herbivora merupakan konsumen yang berada pada tingkat paling bawah, sehingga dinamakan konsumen primer. Selanjutnya, konsumen primer yang berupa herbivora akan dimakan oleh hewan-hewan karnivora pertama. Kelompok hewan pemakan konsumen primer dinamakan dengan konsumen sekunder, yang berarti terjadi pemindahan energi dari konsumen primer ke konsumen sekunder. Proses tersebut merupakan proses makan memakan, yang berujung pada konsumen puncak.


c.   Dekomposer
Dekomposer merupakan kelompok organisme yang menguraikan senyawa-senyawa sisa organisme mati. Dekomposer memiliki mekanisme kerja penguraian yang melibatkan proses metabolisme dalam tubuhnya. Sisa kehidupan tersebut akan terurai dalam tubuh dan keluar sebagai metabolit, hasil metabolisme tubuh dari organisme dekomposer. Dekomposer dapat bekerja menguraikan sisa kehidupan dalam ekosistem karena mereka memiliki enzim yang mampu memecah senyawa sisa tersebut.
Komponen biotik dalam ekosistem memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lain. Dalam konsep rantai dan jaring-jaring makanan, berbagai individu melakukan interaksi makan memakan, baik dari produsen ke konsumen primer atau tingkatan selanjutnya. Rantai makanan merupakan proses makan memakan pada ekosistem yang melibatkan masing-masing satu pihak tiap tingkatan, sedangkan jaring-jaring makanan merupakan gabungan dari beberapa rantai makanan.
b. Komponen Abiotik
Komponen abiotik tersusun atas benda-benda mati. Peranan komponen abiotik sangatlah beragam. Adapun berbagai komponen abiotik dan fungsinya dalam ekosistem adalah sebagai berikut.
a.  Air
Air merupakan komponen abiotik yang sangat penting bagi semua jenis organisme. Semua makhluk hidup memerlukan air karena air merupakan komponen terbesar dalam tiap makhluk hidup. Air berperan sebagai pelarut biologis dan sebagai media berlangsungnya reaksi biokimia dalam tubuh makhluk hidup. Hal itu disebabkan karena sebagian besar enzim pada tubuh hewan merupakan enzim hidrolase, yaitu membutuhkan air untuk dapat melaksanakan fungsinya.
b.  Udara
Udara merupakan komponen abiotik yang penting bagi makhluk hidup. Udara menyediakan ruang hidup selain sebagai penyedia gas yang dibutuhkan tubuh. Komponen udara terbesar di atmosfer bumi adalah dinitrogen (78%), oksigen (21%), dan sisanya karbondioksida, argon, serta berbagai gas lain mengisi 1% sisanya.
Makhluk hidup memiliki kebutuhan terhadap udara yang berbeda. Tumbuhan memerlukan karbondioksida sebagai bahan fotosintesis. Sebagian besar makhluk hidup membutuhkan oksigen untuk proses respirasi seluler, kecuali pada beberapa organisme anaerob. Sebagian besar hewan dan organisme lain mengeluarkan karbondioksida sebagai hasil respirasi. Ada juga yang memerlukan gas dinitrogen atau nitrogen dari atmosfer seperti bakteri Rhizobium yang mampu mengikat nitrogen bebas.
c.   Tanah dan Batuan
Tanah dan batuan memiliki fungsi yang beragam. Tumbuhan menggunakan tanah sebagai tempat tumbuh dan sumber nutrien. Berbagai jenis hewan menggunakan tanah sebagai tempat hidup, misalnya cacing tanah dan serangga tanah. Manusia menggunakan tanah untuk tempat hidupnya. Tanah juga berperan sebagai penyedia air tanah, karena tanah menyimpan air yang bisa keluar melalui berbagai sumber air. Berbagai makhluk hidup seperti lumut, anggrek, dan lumut kerak hidup pada batuan yang jarang ditumbuhi oleh tumbuhan tingka tinggi.
Tanah merupakan tempat teradinya siklus daur ulang berbagai materi serasah. Daur ulang tersebut sebenarnya juga termasuk salah satu cara pembentukan tanah. Tanah juga merupakan tempat remediasi berbagai materi karena didalamnya mengandung banyak sekali jenis mikroorganisme.
d.  Cahaya Matahari
Cahaya matahari merupakan komponen abiotik yang berperan sebagai sumber energi terbesar di bumi ini. Energi yang dibawa oleh cahaya matahari dinamakan dengan foton. Foton inilah yang digunakan oleh tumbuhan untuk memulai dan melaksanakan reaksi fotosintesis. Energi cahaya matahari akan diikat dalam ikatan kimia berenergi tinggi.
Monitoring adalah suatu kegiatan penilaian yang dilakukan secara terus-menerus pada suatu kegiatan proyek pengelolaan DAS dalam hubungannya dengan rencana kerja pelaksanaan dan penggunaan masukan proyek berdasarkan target jumlah sehubungan dengan harapan perencanaan, jadi merupakan kegiatan proyek secara internal dan merupakan bagian penting dari praktek pengelolaan yang baik, karena itu merupakan bagian terintergrasi dari pengelolaan DAS sehari-hari (W.B/IFAD/FAO-1987). Monitoring juga merupakan suatu kegiatan pengawasan yang dilakukan terus menerus atau secara periodik dari suatu pelaksanaan kegiatan pengelolaan dalam menjamin masukan yang diberikan, rencana kerja, keluaran yang ditargetkan dan kegiatan-kegiatan yang diperlukan lainnya, jadi monitoring merupakan cara kerja yang sesuai dengan perencanaan (UN, 1984). Maksud dari monitoring adalah untuk mencapai kinerja proyek pengelolaan DAS yang efektif berdasarkan ketentuan peninjauan kembali kegiatan pengelolaan proyek pada semua tingkat agar memungkinkan pengelola memperbaiki perencanaan operasionalnya menggunakan kegiatan perbaikan secara cepat pada waktunya. Hal ini merupakan bagian dari sistim informasi managemen yang terintegrasi.
Evaluasi adalah suatu kegiatan penilaian secara periodik terhadap : relevansi, kinerja, efisiensi dan pengaruhnya terhadap proyek sehubungan dengan tujuan yang ingin dicapai. Kegiatan ini umumnya meliputi perbandingan antara informasi yang dibutuhkan dari luar proyek pada suatu waktu, daerah dan populasi (WB/IFAD/FAO, 1987), atau evaluasi adalah suatu proses untuk menentukan secara sistimatis dan obyektif tentang : relevansi, efisiensi, efektifitas dan pengaruh kegiatan sehubungan dengan tujuan yang ingin dicapai, jadi merupakan proses yang berhubungan dengan pengorganisasian untuk memperbaiki kegiatan-kegiatan yang masih dalam proses serta untuk tujuan perencanaan pengelolaan yang akan datang, penyusunan acara dan dalam membuat suatu keputusan.
DAS SEBAGAI SATU EKOSISTEM DALAM PENGELOLAAN
Ekosistem DAS merupakan tingkat organisasi yang lebih tinggi dari komunitas, atau merupakan kesatuan dari suatu komunitas dengan lingkungannya dimana terjadi antar hubungan. Di sni tidak tidak hanya mencakup serangkaian spesies tumbuhan dan hewan saja, tetapi juga segala macam bentuk materi yang melakukan siklus dalam system itu serta energi yang diperlukan untuk hidupnya semua komunitas tergantung kepada lingkungan abiotik pada DAS tersebut. Organisme produsen memerlukan energi, cahaya, oksigen, air dan garam-garam yang semuanya diambil dari lingkungan abiotik. Energi dan materi dari konsumen tingkat pertama diteruskan ke konsumen tingkat kedua dan seterusnya ke konsumen – konsumen lainnya melalui jaring-jaring makanan.
Meskipun komponen-komponen biologis dari suatu kolam atau padang rumput nampak berada pada system yang tertutup, namun pada kedua ekosistem itu sebenarnya merupakn system yang terbuka yang merupakan bagian dari system aliran sungai yang lebih besar. Fungsi dan stabilitas kolam dan padang rumput ini sepanjang tahun, sangat ditentukan oleh aliran air, materi dan organisme yang masuk dari bagian-bagian lain dari DAS.
Bukan hanya erosi dan kehilagan unsure hara dari hutan yang terganggu atau tanah pertanian yang rusak yang dapat memurnikan mutu ekosistem – ekosistem ini, tetapi aliran keluar yang mengandung bahan organic yang menyebabkan eutrofikasi (perkayaan) dan pengaruh – pengaruh lainnya di bagianhilir. Kerana itu daerah aliran sungai (DAS) sebagaui suatu keseluruhan, harus dipertimbangkan dalam pengelolaan, bukan hanya tubuh perairannya saja atau areal yang bervegetasi saja. Untuk suatu system pengelolaan yang baik setiap meter persegi air, diperlukan paling sedikit 20 kali luas DAS. Namun demikian perbandingan yang paling tepat sangat tergantung pada curah hujan, struktur geologi dari batua di bawah tanah, dan bentuk topografi.
Pengertian DAS dapat membantu memecahkan masalah-masalah konflik yang dapat terjadi di dalam DAS, misalnya penyebab dan pemecahan masalah pencemaran air tidak dapat dicari hanya dengan memperhatikan airnya saja. Pada umumnya pengelolaan DAS yang tidak baik akan merusak sumberdaya air di dalam DAS. Jadi keseluruhan DAS sungai harus dujadikan sebagai satu unit pengelolaan.


PENGELOLAAN DAS
Penyelesaian masalah kepemilikan lahan dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa tindakan berupa pembuatan perundang-undangan sebagai landasan kerja dalam melakukan pengelolaan DAS. Pada tahun 1955 perlindungan DAS dan tindakan pencegahan banjir dengan memberikan kewenangan untuk mengelola fasilitas lahan-lahan DAS menggunakan konservasi tanah dan air. Pencegahan banjir di hulu lebih efektif dibanding dengan pencegahan di daerah hilir. Perdebatan pengendalian banjir merupakan sumber utama friksi antara pengelola tanah yang berwawasan lingkungan pada satu pihak dan teknik pengelolaan tanah dipihak lain.
Perencanaan DAS dilakukan pada skala basin sungai dan kegiatan perencanaan sumberdaya air diciptakan oleh suatu badan pengelolaan sumberdaya air. Adanya kegiatan memfasilitasi pembuatan komisi perencanaan basin sungai dilakukan untuk menyelesaikan semua kegiatan kasus-kasus besar untuk mencapai tujuan secara terbatas dab mengontrol kualitas air. Kegiatan tsb perlu dikoordinasikan dengan perencanan dan pemerintah, membuat penjelasan dan penyebar luasan prinsip dan standar perencanaan pengelolaan air dan sumberdaya lahan.
Hubungan antara penggunaan lahan dan kuantitas air diambil sebagai langkah utama amendemen pengontrolan polusi air yang sekarang dikenal sebagai kegiatan air bersih. Langkah selanjutnya mengontrol kualitas air untuk tujuan mengontrol pengelolaan tanah yang diidentifikasikan sebagai pertanian, perkebunan, pertambangan, konstruksi, peresapan air garam, pembuangan air sisa dan pembuangan di atas tanah dan di bawah permukaan melalui perencanaan pengelolaan buangan yang dilakukan secara luas.
Timbulnya gerakan lingkungan sejak tahun 1960 secara terus menerus menghasilkan tuntutan adanya Pengelolaan Ekosistem yaitu integrasi pengelolaan sumber daya alam lintas kepemilikan di daerah perkotaan yang sama sengan di desa. Bentuk ini memberikan lingkungan yang tepat antara unit hydrophere alami, DAS dan kebutuhan seluruh pengelolaan yang berwawasan lingkungan pada tanah negara dan sumber daya air. Pengelolaan DAS harus tetap fleksibel, sesuai dengan fisik, kimia dan sifat biologi yang berhubungan dengan air. Dari sisi politik, pengelolaan DAS harus juga bertanggung jawab terhadap pemberian kesempatan dan tantangan untuk pencegahan, perbaikan, dan tujuan peningkatan pengolahan terhadap kemerdekaan perseorangan dan kepada tujuan dari masyarakat yang mempunyai sumber alamnya sendiri dan yang akhirnya dilola oleh masyarakat itu sendiri.
PENGELOLAAN DAS DAN PERUBAHAN BERSKALA BESAR
Kesadaran adanya perubahan skala besar pada lingkungan bumi dihasilkan oleh teknologi pengawasan dan modeling seperti timbulnya efek rumah kaca; hujan asam; pengaruh penggunaan bahan rumah tinggal, industri dan bahan kimia yang diperdagangkan pada penahan lapisan ozon. Kedua, efek rumah kaca dan hujan asam merupakan sifat lingkungan bumi yang normal dari kehidupan kita selama ini. Efek rumah kaca mempunyai akibat akhir yang menakutkan yaitu pPeningkatan Efek Global, yaitu menimbulkan:
1. Penambahan kadar CO2 yang ditransfer akibat terbakarnya bahan bakar fosil dan penurunan komposisi organik yang keduanya menggunakan oksigen,
2. Kerusakan daerah hutan secara luas.
Akibat penambahan CO2, akan membatasi keluarnya radiasi gelombang panjang, pembatasan bentuk radiasi dan penambahan temperatur menyebabkan bertambahnya evaporasi. Terjadinya pembakaran fosil akan mengakibatkan bertambahnya evaporasi dan berkurangnya radiasi gelombang pendek yang datang. Persoalan hujan asam diperdebatkan. Hujan umumnya bersifat asam, tetapi asam yang berlebih dari pembentukan dan deposisi asam nitrit dan asam sulfur dari atmosfer, dari air atmosfer akan menimbulkan hujan asam.
METODOLOGI MODIFIKASI LINGKUNGAN SUMBER DAYA AIR DALAM PENGELOLAAN DAS
Pengelolaan unit dasar ketersediaan air pada pertemuan udara dan tanah hanya merupakan salah satu dari beberapa metodologi untuk satu atau lebih komponen keseimbangan air bagi keuntungan umat manusia. Metoda lainnya termasuk: pengurangan penggaraman, pengurangan evaporasi, modifikasi cuaca, peredaran dan penguapan air.
1.  Teknik pengurangan kadar garam (Desalinization) adalah suatu cara pengurangan secara lambat laun biaya yang perlu dikeluarkan, namun masih lebih tinggi dari metoda alternatif penambahan persediaan air.. Hal ini dilakukan bila tidak menyediakan air bersih berbiaya tinggi atau biaya energi yang murah. Penggunaan tenaga listrik menyebabkan biaya pengurangan kadar garam menjadi mahal, sementara pengembangan teknologi cenderung berkurang, karena itu, teknik ini hanya mungkin untuk daerah dengan kondisi air yang mengandung garam tersebut.
2.  Pengurangan evaporasi dengan pembentukan lapisan monomoleculer pada permukaan tanah mencegah terjadinya penguapan. Dari hasil penelitian diperoleh besarnya pengurangan evaporasi hanya sekitar 10% akibat kesulitan umtuk memelihara lapisan dengan kondisi cuaca yang tidak cocok, terutama faktor angin dalam menambah kehilangan evaporasi. Angin akan mendorong lapisan monomoleculer ke bagian tubuh reservoir besar dimana kehilangan air yang berkumpul dan menumpuk di sepanjang pantai memyebabkan pengurangan evaporasi yang kecil.
3.  Modifikasi cuaca berupa teknologi memodifikasi lingkungan sumberdaya air banyak digunakan. Pekerjaan utama yang dilakukan saat ini adalah memodifikasi angin topan dan memodifikasi pembuatan halilintar untuk menghilangkan panas pada kejadian pembakaran hutan besar dan untuk menghilangkan hujan es pada daerah dimana kerusakan pada tanaman tertentu; menambah presipitasi untuk mengurangi musim kemarau sementara waktu. Metoda ini menunjukan adanya: biaya penambahan presipitasi yang rendah dan mudah dilakukan; biaya operasi langsung mudah dibayar oleh keuntungan penambahan air yang tersedia; ada keuntungan lainnya untuk ketersediaan air yang berlebihan , yaitu untuk menghasilkan listrik, irigasi dan untuk tanaman makanan ternak.
4.  Pengalihan, dipraktekkan secara luas sejak jaman dahulu menggunakan ketersediaan air yang tidak digunakan/berlebihan atau air tersebut sudah digunakan dan secara lokal tidak tersedia. Pada sebagian daerah panas di USA , teknik pengalihan air memberi peranan penting keberhasilan pemperkenalkan, penggunaan, dan modifikasi pendekatan doktrin hak mengenai air (Blach, 1987) yaitu perlunya ijin pengambilan air dari suatu aliran/DAS dan mengirimkannya ke suatu DAS yang lainnya untuk penggunaan yang bermanfaat, dimana airnya tidak perlu dikembalikan kepada DAS asalnya. Pengaruhnya adalah bertambahnya presipitasi, bertambahnya run-off kepada DAS penerima dan akibatnya mengurangi presipitasi dan run-off pada kedua DAS tersebut, sehingga tentunya berkaitan dengan perubahan pada besarnya erosi dan sedimentasi serta flora dan fauna air.
5.  Penyimpanan merupakan teknik pendekatan yang klasik untuk memecahkan masalah kekurangan air untuk sementara waktu. Fungsi penyimpanan (strorage) terutama untuk menyimpan air, tetapi peningkatan pada suatu danau alami yang ada atau basin lahan basah dan percepatan atau peningkatan kembali penyediaan air tanah, juga termasuk pendekatan yang dapat diterima. Pembuatan strorage sudah dikenal sebagai kebijakan yang bijaksana dan teknologi ini menguntungkan secara ekonomi dan lainnya seperti: untuk tempat rekreasi dan olah raga air, pembangkit tenaga listrik, pelayaran dan pengendali banjir.
PELAKSANAAN PENGELOLAAN DAS
Banyak kegiatan yang dilakukan untuk memperbaiki dan menata kembali kerusakan lahan yang terjadi dan dilain pihak perlu melakukan pencegahan kerusakan dimasa mendatang. Semua tujuan ini untuk membuat penggunaan lahan menjadi lebih baik akibat keterbatasan lahan dan sumber air yang ada. Ada sejumlah pelaksanaan pengelolaan DAS dapat digunakan dan dapat dikombinasikan satu dengan yang lainnya. Ada tiga sasaran umum kegiatan pengelolaan DAS yaitu:

1. REHABILITASI
Memperbaiki lahan pertanian/kehutanan akibat erosi dan sedimen yang berlebihan dan bahan-bahan yang mudah larut yang tidak diperlukan akibat run-off dll. Metoda rehabilitasi yang digunakan adalah metoda: tanah hutan, rangeland, tanah pertanian dan saluran aliran. Rehabilitasi sering dibatasi untuk DAS kecil; pengertian rehabilitasi sering digunakan untuk membatasi fungsi DAS yang memerlukan penataan kembali.



2. PROTEKSI
Perlindungan tanah pertanian/kehutanan akibat pengaruh yang membahayakan produksi dan kelestarian menggunakan metoda: tanah hutan, rangeland, pencegahan kebakaran, pencegahan terhadap gangguan serangga/hama serta penyakit.
3. PENINGKATAN
Peningkatan sifat sumber air dilakukan dengan manipulasi ciri-ciri suatu DAS akibat pengaruh hidrologi atau fungsi kualitas air. Tujuan penungkatan pengelolaan DAS didasarkan pada pengakuan bahwa sistem tanah-tanaman yang alami tidak memerlukan produksi air yang optimum. Ketergantungan pada tujuan pengelolaan tanah tertentu, neraca air, cara hidup atau kualitas air dapat dirubah. Semua praktek dan program peningkatan yang sekarang dilakukan (kuantitas air dan cara hidup) dan program perlindungan serta perbaikan, bertujuan untuk mengontrol atau menata kualitas air. Pelaksanaannya antara lain adalah Penebangan dan Perubahan Tanaman. Umumnya tanaman perlu ditebang agar: mempertahankan pertemuan permukaan pada tahun pertama; menghindari gangguan pada proses hidrologi alami pada bidang pertemuan tanah dan air.
Untuk menjaga sumber utama air di perkotaan, diperlukan pengelolaan pengaruh run-off dari DAS sekitar hutan. Pengawasan rutin perlu untuk menjamin jalannya peraturan bahwa air yang mengalir di saluran/sungai tidak digunakan untuk rekreasi, penggunaan secara perseorangan, tempat pembuangan air kotor dan limbah industri.
Pembuatan saluran, pemberantasan phreatophyte, kontrol erosi pada tepi sungai, program jalan masuk aliran, drainase, perlindungan dan penataan kembali terhadap perikanan, serta program pengalihan air perlu dilakukan. Banyak pekerjaan saluran berjangka pendek memberikan keuntungan ekonomi kepada organisasi penyalur tenaga kerja untuk menyalurkan pekerja dalam memelihara saluran yang diperbaiki.