TEKNOLOGI MODIFIKASI CUACA (TMC)…. HUJAN
BUATAN
Terminologi
Hujan Buatan
Pernah mendengar istilah hujan buatan? istilah hujan
buatan adalah hujan yang sengaja dibuat oleh manusia. Sebenarnya istilah hujan
buatan tidak dapat diartikan secara harfiah sebagai pekerjaan membuat atau
menciptakan hujan, karena teknologi ini hanya berupaya untuk meningkatkan dan
mempercepat jatuhnya hujan, yakni dengan cara melakukan penyemaian awan (cloud seeding) menggunakan
bahan-bahan yang bersifat higroskopik (menyerap air) sehingga proses
pertumbuhan butir-butir hujan dalam awan akan meningkat dan selanjutnya akan
mempercepat terjadinya hujan.
Istilah yang lebih tepat untuk mendefinisikan aktivitas Hujan Buatan adalah Teknologi
Modifikasi Cuaca (TMC), karena pada dasarnya hujan buatan merupakan aplikasi
dari suatu teknologi. TMC merupakan usaha manusia untuk meningkatkan curah
hujan yang turun secara alami dengan mengubah proses fisika yang terjadi di
dalam awan. Proses fisika yang diubah (diberi perlakuan) di dalam awan dapat
berupa proses tumbukan dan penggabungan (collision
and coalescense) atau proses pembentukan es (ice nucleation). Saat ini
TMC menjadi salah satu solusi teknis yang dapat dimanfaatkan untuk
menanggulangi bencana yang ditimbulkan oleh karena adanya penyimpangan
iklim/cuaca. TMC ini sudah dipakai oleh lebih dari 60 negara untuk berbagai
kepentingan.
Sejarah
Modifikasi Cuaca di Dunia
Sejarah modifikasi cuaca di dunia diawali pada tahun 1946
ketika Vincent Schaefer dan Irving Langmuir mendapatkan fenomena terbentuknya
kristal es dalam lemari pendingin, saat schaever secara tidak sengaja melihat
hujan yang berasal dari nafasnya waktu membuka lemari es. Kemudian pada tahun
1947, Bernard Vonnegut mendapatkan terjadinya deposit es pada kristal perak
iodida (Agl) yang bertindak sebagai inti es. Vonnegut tanpa disengaja suatu
hari melihat titik air di udara ketika sebuah pesawat tebang dalam rangka
reklame Pepsi Cola, membuat tulisan asap nama minuman itu. Kedua penemuan
penting ini adalah merupakan tonggak dimulainya perkembangan modifikasi cuaca
di dunia untuk selanjutnya.
Kegiatan modifikasi cuaca di Indonesia atau yang lebih
dikenal dengan istilah hujan buatan dikaji dan diuji pertama kali pada tahun
1977 atas gagasan Presiden Soeharto (Presiden RI saat itu) yang difasilitasi
oleh Prof.Dr.Ing. BJ Habibie melalui Advance Teknologi sebagai embrio Badan
pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), dibawah asistensi Prof. Devakul dari
Royal Rainmaking Thailand.
Pada Tahun 1985 dibentuk satu unit di BPPT yang bernama
Unit Pelayanan Teknis Hujan Buatan (UPT-HB) berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Negara Riset dan Teknologi / Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
No: SK/342/KA/BPPT/XII/1985 fungsinya adalah memberikan pelayanan dalam hal
meningkatkan intensitas (menambah) curah hujan sebagai upaya Pemerintah dalam
menjaga ketersediaan air pada waduk yang berfungsi sebagai sumber air untuk
irigasi dan PLTA.
Proses
Pembentukan Awan
Udara di sekeliling kita banyak mengandung uap air. Tidak
terhitung banyaknya gelembung udara yang terbentuk oleh busa laut secara
terus-menerus dan menyebabkan partikel-partikel air terangkat ke langit.
Partikel-partikel yang disebut dengan aerosol inilah yang berfungsi sebagai
perangkap air dan selanjutnya akan membentuk titik-titik air. Selanjutnya
aerosol ini naik ke atmosfer, dan bila sejumlah besar udara terangkat ke
lapisan yang lebih tinggi, maka ia akan mengalami pendinginan dan selanjutnya
mengembun. Kumpulan titik-titik air hasil dari uap air dalam udara yang
mengembun inilah yang terlihat sebagai awan. Makin banyak udara yang mengembun,
makin besar awan yang terbentuk.
Jenis-jenis awan
berdasarkan ketinggiannya dapat dlihat pada gambar berikut.
Awan yang dijadikan sasaran dalam kegiatan hujan buatan
adalah jenis awan Cumulus (Cu) yang aktif,
dicirikan dengan bentuknya yang seperti bunga kol. Awan Cumulus terjadi karena
proses konveksi.
Awan Cumulus terbagi dalam 3 jenis, yaitu: Strato Cumulus (Sc) yaitu awan Cumulus yang baru
tumbuh ; Cumulus, dan Cumulonimbus (Cb) yaitu
awan Cumulus yang sangat besar dan mungkin terdiri beberapa awan Cumulus yang
bergabung menjadi satu.
Jenis awan Cumulus (Cu) yang bentuknya seperti bunga kol,
merupakan
jenis awan yang dijadikan sebagai sasaran penyemaian
dalam kegiatan hujan buatan
Awan
Dingin dan Awan Hangat
Berdasarkan suhu lingkungan fisik atmosfer dimana awan
tersebut berkembang, awan dibedakan atas awan dingin
(cold cloud) dan awan hangat (warm cloud).
Terminologi awan dingin diberikan untuk awan yang semua bagiannya berada pada
lingkungan atmosfer dengan suhu di bawah titik beku (< 00C),
sedangkan awan hangat adalah awan yang semua bagiannya berada diatas titik beku
( > 00C).
Awan dingin adalah awan yang berada pada daerah lintang
menengah dan tinggi, dimana suhu udara dekat permukaan tanah saja bisa mencapai
nilai <00C. Di daerah tropis seperti halnya di Indonesia, suhu
udara dekat permukaan tanah sekitar 20-300C, dasar awan mempunyai
suhu sekitar 180C. Namun demikian puncak awan dapat menembus jauh ke
atas melampaui titik beku, sehingga sebagian awan merupakan awan hangat,
sebagian lagi diatasnya merupakan awan dingin. Awan semacam ini disebut awan campuran (mixed
cloud).
Ilustrasi
awan dingin dan awan hangat
Proses Terjadinya Hujan Pada Awan Dingin
Pada awan dingin hujan dimulai dari adanya
kristal-kristal es. yang berkembang membesar melalui dua cara yaitu deposit uap air atau air super dingin (supercooled water) langsung
pada kristal es atau melalui penggabungan menjadi
butiran es. Keberadaan kristal es sangat penting dalam pembentukan hujan
pada awan dingin, sehingga pembentukan hujan dari awan dingin sering juga
disebut proses kristal es.
Hujan, salju dan hujan batu es terutama disebabkan oleh
air yang menjadi dingin. Salju terbentuk dalam atmosfer atas yang suhunya
dibawah titik beku. Waktu jatuh lewat atmosfer salju mencair dan menjadi hujan.
Pada musim dingin, salju jatuh tanpa menjadi cair dan masih berbentuk salju.
Butiran salju terdiri dari kristal es kecil-kecil.
Sewaktu udara naik lebih tinggi ke atmosfer, terbentuklah
titik-titik air, dan terbentuklah awan. Ketika sampai pada ketinggian tertentu
yang suhunya berada di bawah titik beku, titik air dalam awan itu membeku
menjadi kristal es kecil-kecil. Udara sekelilingnya yang tidak begitu dingin
membeku pada kristal tadi. Dengan demikian kristal bertambah besar dan menjadi
butir-butir salju. Bila menjadi terlalu berat, salju itu turun. Bila melalui
udara lebih hangat, salju itu mencair menjadi hujan. Pada musim dingin salju
jatuh tanpa mencair.
Proses
Terjadinya Hujan Pada Awan Hangat
Ketika uap air terangkat naik ke atmosfer, baik oleh
aktivitas konveksi ataupun oleh proses orografis (karena adanya halangan gunung
atau bukit), maka pada level tertentu partikel aerosol (berukuran 0,01 - 0,1
mikron) yang banyak beterbangan di udara akan berfungsi sebagai inti kondensasi (condensation
nucleus) yang menyebabkan uap air tersebut mengalami
pengembunan. Sumber
utama inti kondensasi adalah garam yang berasal dari golakan air laut.
Karena bersifat higroskofik maka sejak berlangsungnya kondensasi, partikel
berubah menjadi tetes cair (droplets) dan kumpulan dari banyak droplets membentuk awan.
Partikel air yang mengelilingi kristal garam dan partikel debu menebal,
sehingga titik-titik tersebut menjadi lebih berat dari udara, mulai jatuh dari
awan sebagai hujan.
Jika diantara partikel terdapat partikel besar (Giant Nuclei : GN : 0,1 - 5 mikron) maka ketika kebanyakan partikel
dalam awan baru mencapai sekitar 30 mikron, ia sudah mencapai ukuran sekitar 40
- 50 mikron. Dalam gerak turun ia akan lebih cepat dari yang lainnya sehingga
bertindak sebagai kolektor karena sepanjang lintasannya ke bawah ia menumbuk
tetes lain yang lebih kecil, bergabung dan jauh menjadi lebih besar lagi
(proses tumbukan dan penggabungan). Proses ini berlangsung berulang-ulang dan
merambat keseluruh bagian awan. Bila dalam awan terdapat cukup banyak GN maka
proses berlangsung secara autokonversi atau reaksi
berangkai (Langmuir Chain
Reaction) di seluruh awan, dan dimulailah proses hujan dalam
awan tersebut, secara fisik terlihat dasar awan menjadi lebih gelap.
Hujan turun dari awan bila melalui proses tumbukan dan
penggabungan, droplets dapat
berkembang menjadi tetes hujan berukuran 1.000 mikron atau lebih besar. Pada
keadaan tertentu partikel-partikel dengan spektrum GN tidak tersedia, sehingga
proses hujan tidak dapat berlangsung atau dimulai, karena proses tumbukan dan
penggabungan tidak terjadi.
Ilustrasi proses tumbukan dan
penggabungan (collision and coalescense) dalam awan sebagai berikut:
A. Tetes-tetes awan (droplets) yang berukuran
kecil bergerak naik keatas terbawa gerakan udara secara vertikal (updraft); sementara itu sudah ada
tetes awan yang menjadi partikel berukuran lebih besar (Giant Nuclei) yang karena beratnya melebihi
berat dari udara sehingga sudah mulai bergerak jauh ke bawah.
B. Partikel Besar
(GN) ini bertindak sebagai "pengumpul" tetes-tetes awan yang lain,
karena sepanjang lintasannya ke bawah
ia menumbuk tetes lain yang lebih kecil, bergabung dan jauh menjadi lebih besar
lagi (proses tumbukan dan penggabungan).
C. Semakin banyak
tetes lain yang tertumbuk dan bergabung, maka partikel tersebut akan semakin
besar ukurannya, dan lama kelamaan akan terbelah membentuk partikel (GN) baru.
D. Proses ini
berlangsung berulang-ulang dan merambat keseluruh bagian awan, dan bila dalam
awan terdapat cukup banyak
GN maka proses berlangsung secara autokonversi atau reaksi berantai (Langmuir Chain Reaction) di seluruh awan, dan
dimulailah proses hujan dalam awan tersebut.
Bagaimana
TMC Dapat Menambah Curah Hujan ?
Prinsip dasar penerapan TMC untuk menambah curah hujan
adalah mengupayakan agar proses terjadinya hujan menjadi lebih efektif. Upaya
dilakukan dengan cara mempengaruhi proses fisika yang terjadi di dalam awan,
yang dapat dilakukan dengan dua cara, tergantung dimana lingkungan awan
tersebut berada. Untuk bagian awan dingin, curah hujan
akan bertambah jika proses pembentukan es di dalam awan juga semakin efektif.
Proses pembentukan es dalam awan akan semakin efektif jika awan disemai dengan
menggunakan bahan semai berupa perak iodida (Agl).
Untuk bagian awan hangat, upaya dilakukan dengan menambahkan partikel higroskopik dalam spektrum Ultra Giant Nuclei (UGN :
berukuran lebih dari 5 mikron ) ke dalam awan yang sedang dalam masa berkembang
atau matang sehingga proses hujan dapat segera dimulai serta berkembang ke
seluruh awan. Penambahan partikel dengan spektrum CCN (Cloud Condencation Nucleus:
Inti Kondensasi Awan) tidak perlu dilakukan, karena partikel dengan spektrum
ini sudah disediakan sendiri oleh alam. Dengan demikian awan tidak perlu
dibuat, karena dengan tersedianya CCN awan dapat terbentuk dengan sendirinya
bila kelembaban udara cukup. Pada kondisi tertentu, dengan masuknya partikel
higroskopik berukuran UGN kedalam awan, maka proses hujan (tumbukan dan
penggabungan) dapat dimulai lebih awal, durasi hujan lebih lama, dan daerah
hujan pada awan semakin luas, serta frekuensi hujan di tanah semakin tinggi.
Dari sinilah didapatkan tambahan curah hujan. Injeksi
partikel berukuran UGN ke dalam awan memberikan dua manfaat sekaligus, yang
pertama adalah mengefektifkan proses tumbukan dan penggabungan sehingga
menginisiasi (mempercepat) terjadinya proses hujan, dan yang kedua adalah
mengembangkan proses hujan ke seluruh daerah di dalam awan. Bahan semai yang
digunakan adalah bahan yang memiliki sifat higroskopik dalam bentuk super fine powder
(berbentuk serbuk yang berukuran sangat halus), paling sering digunakan adalah NaCl, atau bisa juga berupa CaCl2 atau Urea.
Berikut
adalah animasi yang menggambarkan perbedaan antara sekuens pertumbuhan awan
yang tidak disemai dengan awan yang disemai :
Sekuens awan tidak disemai
a.
5 menit :
awan Kumulus mulai tumbuh.
b.
10 menit : Mulai
terjadi tetes-tetes besar. Awan makin besar
c. 15 Menit : Tetes besar semakin banyak dan mulai
terjadi kristal es. Awan mencapai tinggi maksimum
d. 20 menit : Kristal-kristal semakin besar, tetes air
di dalam awan berkurang. Kristal es jatuh dan mencair menjadi tetes air hujan.
e. 30 menit : Hujan ringan berlangsung dan awan
membuyar.
Sekuens awan yang disemai
a. 5 menit : awan Kumulus mulai tumbuh.
b. 10 menit : Mulai terjadi tetes-tetes besar.
Awan makin besar
c. 15 menit : Sejumlah bahan semai yang
terkonsentrasi dimasukan ke dalam awan dari dasar awan maupun dari puncak awan.
d. 20 menit : Terjadi pelepasan panas laten
ketika air supercooled membeku
menjadi es dan awan tumbuh menjadi sangat besar.
e. 30 menit : Jumlah air yang terlibat di dalam
awan semakin besar sehingga curah hujan meningkat.
METODA
PENYEMAIAN AWAN
Dalam penerapan TMC, ada beberapa cara yang dapat
dilakukan untuk menyampaikan bahan semai ke dalam awan. Yang paling sering dan
biasa dilakukan adalah menggunakan wahana pesawat
terbang. Selain menggunakan pesawat terbang, modifikasi pesawat terbang
juga dapat dilakukan dari darat dengan menggunakan sistem statis melalui wahana Ground
Base Generator (GBG) pada daerah pegunungan untuk
memodifikasi awan-awan orografik dan juga menggunakan wahana
roket yang diluncurkan ke dalam awan.
Gambar
10. Macam-macam metoda penyampaian bahan semai ke dalam awan
Di Indonesia untuk saat ini yang sudah operasional dan
dikuasai teknologinya berubah TMC dengan menggunakan wahana pesawat terbang. TMC sistem GBG saat ini masih dalam tarap
ujicoba dan telah terpasang sejumlah menara di daerah Puncak, Bogor (lereng
Gunung Gede - Pangrango), sedangkan untuk wahana roket baru sebatas kajian dan
dalam wacana akan mulai dicoba di Indonesia.
Wahana Pesawat
Terbang
Berikut
adalah beberapa contoh gambar penyemaian awan dari pesawat terbang :
Pesawat terbang jenis Cassa NC 212-200 sedang melepaskan
bahan semai berupa serbuk garam NaCI melalui airscooper
yang terpasang pada bagian bawah pesawat. bahan semai dilepaskan pada medan updraft yang ada di
sekitar dasar awan (jenis aan hangat).
Selain berupa serbuk (powder),
bahan semai dapat pula dikemas dalam bentuk flare yang dipasang pada bagian
sayap ataupun bawah pesawat. Partikel bahan semai masuk ke dalam awan jika flare terbakar.
Bahan semai jenis ejectable
flare dimasukkan ke dalam awan dengan cara ditembakkan dari pesawat pada bagian
puncak awan (jenis awan dingin).
Ground Base Generator
Ground Base generator
(GBG) merupakan salah satu metoda alternatif untuk menyampaikan bahan semai ke
dalam awan, yang pada prinsipnya dengan memanfaatkan potensi topografi dan
angin lembah (valley breeze),
yaitu angin lokal yang berhembus ke atas pegunungan pada siang hari dengan
mengikuti kemiringan permukaan gunung. Bahan semai dikemas dalam bentuk flare
yang dibakar dari atas menara pada ketinggian tertentu. Kembang api yang
merupakan hasil pembakaran dari flare dengan bahan higroskopik itu ditujukan
untuk mengatur partikel Cloud Condensation Nuclei (CCN) yang berukuran sangat
halus ke dalam awan sehingga diharapkan mampu merangsang terjadinya hujan.
GBG aslinya digunakan di daerah lintang menengah dan
tinggi dengan suhu lingkungan berada di bawah titik beku (<00C),
namun saat ini sudah mulai diterapkan di Indonesia meski masih dalam taraf
ujicoba. Sejumlah menara GBG telah terpasang menyebar di kawasan Puncak, Bogor
(lereng Gunung Gede - Pangrango) dengan tujuan untuk
menyemai awan-awan orografis yang melintas di kawasan Puncak. Jika setiap awan
yang melintas dapat disemai, maka hujan dapat turun lebih awal sehingga
tidak terjadi penumpukan awan yang dapat menimbulkan hujan lebat di daerah
tersebut sehingga diharapkan akan mampu memperkecil resiko banjir untuk wilayah
Jakarta dan sekitarnya.
Penyemaian
awan menggunakan sistem statis Ground
Base Generator (GBG)
yang memanfaatkan awan-awan orografis pada daerah pegunungan
yang memanfaatkan awan-awan orografis pada daerah pegunungan
Wahana Roket
Roket dapat pula dimanfaatkan sebagai wahana untuk
menyampaikan bahan semai ke dalam awan. Metode ini sudah banyak dikembangkan
oleh negar-negara di Eropa. Saat ini BPPT bekerjasama dengan LAPAN tengah
menjajaki kemungkinan teknologi ini untuk diaplikasikan di Indonesia.
Penyemaian
awan menggunakan wahana roket yang ditembakkan ke dalam awan dari darat.
Evaluasi
Hasil TMC
Pengukuran hasil TMC dapat ditinjau dari hasil tambahan
air hujan selama periode dilakukannya kegiatan modifikasi cuaca (hujan buatan)
di daerah target. Ada dua pendekatan besara dalam evaluasi hasil TMC yaitu dari
segi curah hujan dan aliran.
Evaluasi penambahan curah hujan diukur
melalui pendekatan atau estimasi menggunakan daerah kontrol sebagai pembanding
untuk daerah target. Syarat daerah kontrol antara lain berada di luar
daerah target dan tidak terkontaminasi dengan bahan semai yang dilepaskan,
serta memiliki karakteristik curah hujan yang berkorelasi kuat dengan curah
hujan di daerah target. Selisih antara besarnya curah
hujan rata-rata di daerah target dengan besarnya curah hujan rata-rata di
daerah kontrol selama periode kegiatan hujan buatan dinyatakan sebagai tambahan
curah hujan hasil TMC.
Metode Evaluasi hasil TMC lainnya adalah melalui pendekatan debit aliran (inflow) di daerah target. Prinsip dari
metode ini adalah membandingkan nilai debit aliran selama periode kegiatan
hujan buatan dengan nilai debit saat tidak ada pelaksanaan hujan buatan. Selisih besarnya debit aliran diantara kedua periode tersebut
dinyatakan sebagai penambahan aliran hasil TMC.
Kualitas
Air Hujan Hasil TMC
Kegiatan TMC ini ramah lingkungan. Bahan yang digunakan
untuk penyemaian awan juga dipergunakan pada kehidupan sehari-hari. Contohnya
NaCI, bahan ini banyak terdapat di atmosfer sebagai hasil dinamika air laut,
dan pada kehidupan sehari-hari biasa digunakan sebagai bahan masakan ataupun
dalam pertanian.
Dari sisi konsentrasi, satu butir bahan higroskopik berukuran
50 mikro mengalami pengenceran hingga satu juta kali ketika menjadi tetes hujan
berukuran 2.000 mikron. Hasil analisis kualitas air hujan dari beberapa kali
kegiatan TMC telah membuktikan bahwa parameter kualitas air hujan maupun
badan-badan air masih aman untuk digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Pemanfaatan
TMC di Indonesia
Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) sudah banyak dirasakan
manfaatnya oleh berbagai pihak. Departemen Pekerjaan Umum, Departemen
Pertanian, Departemen Kehutanan, Perusahaan Listrik negara (PLN), Badan
Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (Bakornas PB), Pihak Pengelola Waduk
seperti Perum Jas Tirta I dan II, ataupun perusahaan swasta seperti PT INCO
adalah beberapa contoh para pengguna jasa teknologi ini.
Saat ini pemanfaatan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC)
atau hujan buatan tidak lagi hanya terbatas untuk
keperluan pengisian air pada waduk/bendung yang berfungsi sebagai sumber
air untuk irigasi ataupun PLTA saja, namun juga telah banyak dimanfaatkan untuk
mengantisipasi dan mengatasi berbagai bencana yang disebabkan oleh kondisi
iklim dan cuaca lainnya, contohnya untuk mengatasi permasalahan
kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan yang terjadi hampir setiap
tahun di indonesia.
Secara teori, teknologi ini juga mempunyai kemampuan untuk mengantisipasi bencana banjir. Namun sejauh ini
efektifitas TMC untuk mengantisipasi banjir belum terukur karena belum pernah
dilakukan.
secara garis besar, pedoman penentuan waktu pelaksanaan
dan pemanfaatan TMC untuk mengatasi dan mengantisipasi berbagai masalah bencana
iklim dan cuaca di Indonesia dapat dilihat pada gambar berikut. :
Pedoman
penentuan waktu pelaksanaan TMC untuk mengantisipasi
berbagai masalah bencana iklim dan cuaca di Indonesia.
berbagai masalah bencana iklim dan cuaca di Indonesia.