I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia memiliki luas
hutan hujan tropika yang terluas di Asia tropis. Pada saat ini ± 64,4 juta ha di
antaranya luas kawasan hutan Indonesia adalah berstatus hutan produksi (tetap
dan terbatas). Menurut laporan resmi (Ministry of Forestry GOI and FAO, 1990 ;
1991), dari seluruh kawasan hutan yang ada di Indonesia, ± 108,6 juta ha di
antaranya masih berhutan dan meliputi 7 tipe utama hutan dengan variasi hingga
18 tipe hutan, termasuk hutan bambu, hutan nipah, hutan sagu dan hutan savana
(Akhmad, 2004). Hutan tropika Indonesia telah dikenal di dunia sebagai hutan
tropika terluas nomor tiga (3) di dunia, setelah negara Brazil dan Zaire. Pada
awalnya diperkirakan luas hutan tropika di Indonesia adalah ± 164 juta ha,
kemudian berkurang menjadi ± 143 juta ha dan pada tahun 1999 diperkirakan
tinggal ± 90-120 juta ha. Apabila luas daratan Indonesia diperkirakan ± 190
juta ha, maka luas hutan di Indonesia tinggal ± 48-64% dari daratan (Suratmo et
al. 2003).
Diantara
pemicu hilangnya hutan tropika Indonesia adalah peristiwa kebakaran hutan.
Dalam sejarah kebakaran hutan di Indonesia, kebakaran hutan yang terbesar
terjadi pada tahun 1997/1998 yang mencapai luasan ± 9,7 juta ha, lahan dengan
luasan areal terbakar tersebar di beberapa pulau seperti : Sumatera ± 1,7 juta ha,
Kalimantan ± 6,5 juta ha, Jawa ± 0,1 juta ha, Sulawesi ± 0,4 juta ha dan Irian
Jaya ± 1 juta ha. Dengan pembagian menurut tipe hutan yang terbakar adalah
hutan pegunungan ± 0,1 juta ha, hutan dataran rendah ± 3,3 juta ha, gambut ± 1,5
juta ha, lahan pertanian dan alang-alang terbuka ± 4,5 juta ha, HTI dan
perkebunan ± 0,3 juta ha. Dengan jumlah kerugian mencapai Rp 9,5 Trilyun
(EEPSEA and WWF 1998).
Penyebab
kebakaran hutan dan lahan didefinisikan sebagai sesuatu yang bersifat alami
maupun perbuatan manusia yang menyebabkan terjadinya proses penyalaan serta
pembakaran bahan bakar hutan dan lahan. Dilihat dari faktor penyebab kebakaran
hutan dan lahan di Indonesia, faktor alam tampaknya hanya memegang peranan
kecil, sedangkan faktor manusia menyebabkan hampir 100% dari kejadian kebakaran
hutan dan lahan, baik sengaja maaupun tidak disengaja, contohnya api digunakan
dalam pembukaan lahan untuk pertanian.
Kebakaran hutan dan lahan pada
tahun 1997/1998 merupakan malapetaka yang sangat hebat, sampai pemerintah
Indonesia menyatakan sebagai Bencana Nasional. Kebakaran hutan dan lahan saat
ini telah menjadi salah satu bentuk gangguan terhadap pengelolaan hutan dan
lahan. Akibat negatif yang ditimbulkan cukup besar misalnya kerusakan ekologis,
menurunnya estetika, merosotnya nilai ekonomi hutan dan produktifitas tanah,
perubahan iklim mikro maupun global, menurunkan keanekaragaman sumberdaya alam
hayati dan ekosistemnya yang merupakan sumber plasma nutfah yang tak ternilai.
Kebakaran hutan merupakan masalah yang krusial dan perlu penanganan yang
sungguh-sungguh, karena kebakaran ini disamping menyebabkan terjadinya gangguan
lingkungan hidup dari asap yang timbul juga berakibat hilangnya potensi hutan
dan penurunan keanekaragaman hayati. Oleh sebab itu perlu dilakukan suatu
strategi pengendalian kebakaran hutan yang efektif dan efisien.
Kegiatan
pengendalian kebakaran hutan merupakan semua aktivitas untuk melindungi hutan
dari kebakaran liar. Aktivitas tersebut mencakup kegiatan pencegahan,
pra-pemadaman dan pemadaman kebakaran hutan. Kegiatan ini dilakukan pada areal
yang berpotensi terbakar seperti areal IUPHHK – HA (HPH), IUPHHK – HT (HTI),
Taman Nasional dan lahan Perkebunan
B.
Tujuan
Tujuan
dari Makalah Kebakaran Hutan ini adalah
untuk mempelajari, mendeskripsikan, dan menganalisis :
a.
Strategi pengendalian kebakaran hutan yang diterapkan di IUPHHK – HA
b. Partisipasi masyarakat
sekitar IUPHHK – HA dalam strategi pengendalian kebakaran hutan.
C.
Manfaat
Makalah
ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang positif bagi berbagai pihak yang
berminat maupun terkait dengan usaha pengendalian kebakaran hutan, khususnya
kepada :
a.
Kalangan manajemen/pengelola IUPHHK – HA dapat merencanakan dan mengevaluasi
strategi pengendalian kebakaran hutan yang lebih baik.
b.
Kalangan akademisi dapat menambah literatur dalam mengkaji strategi
pengendalian kebakaran hutan di IUPHHK – HA.
c.
Kalangan non-akademisi yaitu masyarakat, swasta dan pemerintah yang bergerak di
sektor kehutanan untuk menerapkan strategi pengendalian kebakaran hutan yang
efektif dan efisien sehingga kebakaran hutan dapat dicegah dan ditanggulangi.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. KEBAKARAN HUTAN
1. Definisi Kebakaran Hutan
Kebakaran
Hutan adalah peristiwa pembakaran yang penjalarannya bebas serta mengkonsumsi
bahan bakar alam dari hutan. Bahan bakar yang berada di dalam hutan itu sendiri
sangat beragam dan tersebar dari lantai hutan hingga pucuk pohon dan lapisan
tajuk hutan, yang kesemuanya merupakan bagian dari biomassa hutan. Bahan bakar
yang berada di dalam hutan dapat berupa serasah, rumput, ranting/cabang, pohon
mati yang tetap berdiri, batang pohon (logs), tunggak pohon, gulma,
semak belukar, dedaunan dan pohon-pohon (Suratmo et al, 2003). Secara
garis besar kebakaran hutan ada 2 macam, yaitu :
a.
Kebakaran Liar (Wildfire)
Setiap kebakaran yang
terjadi di lahan yang tidak direncanakan/ dikendalikan. Dalam hal ini api
merupakan musuh yang harus dilawan, karena merusak dan sangat merugikan serta
relatif sulit untuk dikendalikan.
b.
Pembakaran Terkendali (Controlled Burning)
Pembakaran yang
dikendalikan di bawah kondisi cuaca tertentu, yang membuat api dapat diarahkan
pada keadaan tertentu dan pada saat yang sama menghasilkan intensitas panas dan
laju penjalaran yang sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Dalam hal ini api
merupakan alat yang dapat digunakan untuk tujuan-tujuan positif dan tidak
merugikan.
2. Prinsip Segitiga Api
Api
merupakan fenomena fisik alam yang dihasilkan dari kombinasi yang cepat antara
oksigen dengan suatu bahan bakar yang terjelma dalam bentuk panas, cahaya dan
nyala. Tiga komponen diperlukan untuk setiap api agar dapat menyala dan
mengalami proses pembakaran (Countryman,
1975).
Pertama
harus tersedia bahan bakar yang dapat terbakar. Lalu, panas yang cukup
digunakan untuk menaikkan temperatur bahan bakar hingga ke titik penyalaan. Dan
akhirnya harus terdapat pula cukup udara untuk mensuplai oksigen yang
diperlukan dalam menjaga proses pembakaran agar tetap berjalan dan untuk
mempertahankan suplai panas yang cukup sehingga memungkinkan terjadinya
penyalaan bahan bakar yang sulit terbakar. Ketiga unsur tersebut yaitu bahan
bakar, panas dan oksigen yang memungkinkan timbulnya api, disebut dengan
segitiga api (Fire Triangle).
Gambar
1. Prinsip segitiga api (Chandler et al, 1983).
Api
hanya dapat terjadi bila ketiga komponen di atas berada pada saat yang bersamaan
atau tidak akan ada api sama sekali. Untuk itu maka prinsip dasar dalam usaha
pengendalian terjadinya kebakaran hutan dilakukan dengan cara memutuskan salah
satu dari ketiga komponen tersebut. Dan yang umum dilakukan adalah dengan cara
mengurangi peran komponen bahan bakar dan panas yang dapat dilakukan dengan
berbagai macam teknik.
3. Tipe Kebakaran Hutan
Salah
satu hal yang paling penting dalam kegiatan pemadaman kebakaran hutan adalah
dengan mengenal/mengetahui secara pasti tipe kebakaran hutan yang terjadi,
sebab tanpa mengetahuinya secara pasti, teknik dan metode pemadaman yang
diterapkan akan fatal. Kegiatan pemadaman pada kebakaran hutan di bawah
permukaan (gambut) akan tidak sama dengan pemadaman kebakaran di padang
alang-alang atau pada kebakaran tajuk. Karena hal ini berdampak pada tingkat
kerugian yang akan diderita (dalam hal ini luasan areal yang terbakar bisa
makin luas) dan juga dampak negatif terhadap pemadaman itu sendiri. Dengan
diketahuinya secara pasti tipe kebakaran yang terjadi, maka lebih banyak areal
yang bisa diselamatkan dan dampak negatif terhadap lingkungan bisa dikurangi,
sehingga kebakaran hutan yang terjadi tidak berlarut-larut.
Menurut Brown dan
Davis (1973) diacu dalam Suratmo et al. (2003), kebakaran hutan dapat
digolongkan ke dalam tiga tipe, yaitu :
a.
Kebakaran Bawah (Ground Fire)
Tipe
kebakaran bawah ini biasanya mengkonsumsi bahan bakar bawah berupa material organik
yang terdapat di bawah permukaan tanah/ lantai hutan (Ground fuels). Yang paling klasik
adalah kebakaran di hutan gambut. Kebakaran bawah ini sangat sukar dideteksi
dan berjalan lambat sekali karena tidak dipengaruhi oleh kecepatan angin. Tanda
bahwa areal tersebut terbakar adalah adanya asap putih yang keluar dari bawah
permukaan tanah. Kebakaran dengan tipe ini pada kebakaran tahun 1997/1998 yang
lalu terjadi di lahan gambut yang terdapat di Provinsi Jambi, Sumatera Selatan,
Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat dan beberapa daerah
lainnya. Karena berada dibawah permukaan tanah, maka banyak pohon mati karena
akarnya hangus terbakar. Kebakaran ini biasanya berkombinasi dengan kebakaran
permukaan.
b. Kebakaran Permukaan (Surface
Fire)
Kebakaran
permukaan ini mengkonsumsi bahan bakar yang terdapat di lantai atau permukaan
hutan baik berupa serasah, jatuhan ranting, batang pohon yang bergelimpangan di
lantai hutan, tumbuhan bawah, dan sebagainya yang berada di bawah tajuk pohon
dan di atas permukaan tanah (Surface fuels). Kebakaran tipe ini adalah
yang paling sering terjadi di dalam tegakan, hutan sekunder dan hutan alam,
terkecuali di daerah rawa gambut dimana yang dominan adalah kebakaran bawah.
Kebakaran permukaan ini biasanya merupakan langkah awal menuju kebakaran tajuk,
dengan cara terbakarnya tanaman pemanjat yang menghubungkan sampai ke tajuk
pohon atau akibat api loncat yang mencapai tajuk pohon.
c. Kebakaran Tajuk (Crown
Fire)
Kebakaran
tajuk biasanya bergerak dari satu tajuk pohon ke tajuk pohon lainnya dengan
cara mengkonsumsi bahan bakar yang terdapat di tajuk pohon tersebut baik berupa
daun, cangkang biji, ranting bagian atas pohon, tajuk pohon (Aerial fuels).
Seperti diuraikan diatas, kebakaran tajuk ini biasanya bermula dari adanya api
lompat yang berasal dari tajuk tumbuhan bawah/ semak yang terbakar atau karena
adanya tumbuhan epifit/liana sepanjang batang pohon yang terbakar, kulit pohon
yang berminyak atau karena pemanasan dari permukaan. Kebakaran ini banyak
meminta korban para pemadam kebakaran karena tertimpa oleh ranting-ranting besar
yang hangus terbakar di makan api ketika melakukan pemadaman, selain itu banyak
juga yang terjebak karena terkepung api.
4. Dampak Kebakaran Hutan
a. Dampak Kebakaran Hutan
yang Menguntungkan
Api
telah digunakan oleh manusia sejak ribuan tahun silam. Pada saat itu manusia
menganggap api sebagai alat bantu yang sangat bermanfaat dalam kehidupan
sehari-hari. Disamping sebagai cara untuk membersihkan lahan secara murah dan
cepat juga dapat membantu menyuburkan lahan perladangan mereka.
Dengan
demikian, tidak selamanya kebakaran hutan berdampak merugikan bagi lingkungan.
Tetapi, perlu kajian lebih lanjut sampai sejauh mana dampak menguntungkan
kebakaran hutan dapat dirasakan dan seberapa besar jika dibandingkan dengan
dampaknya yang merugikan. Disinilah perlunya dituntut sikap bijak dalam
mengkaji dan menilai kerusakan akibat kebakaran hutan (Syaufina, 2002).
Pengaruh kebakaran hutan yang menguntungkan berupa :
1)
Mengurangi potensi bahan bakar.
Di beberapa negara maju,
pembakaran terkendali dilakukan secara periodic untuk mengurangi potensi bahan
bakar sehingga dapat menghindarkan kebakaran yang lebih besar.
2)
Memperbaiki keadaan habitat dan menyediakan sumber makanan yang baik bagi
satwa.
3) Memusnahkan hama dan penyakit.
Apabila serangan hama dan
penyakit sudah tidak terkendali.
4) Abu hasil proses pembakaran akan meningkatkan
pH tanah hutan yang pada umumnya bersifat masam.
5) Membantu pertunasan yang dibantu oleh api.
Adanya api akan menstimulasi
bakal tunas yang dorman untuk tumbuh. Pertumbuhan tunas setelah kebakaran
biasanya berhubungan dengan umur tanaman, ukuran batang, musim, frekuensi
kebakaran dan kekerasan kebakaran.
6)
Membantu penyebaran oleh api.
Jenis-jenis Pinus umumnya
menyimpan bijinya dengan mekanisme tertentu di dalam kerucut yang terbalut
dengan bahan resin yang sensitif terhadap api sehingga sulit untuk diambil.
Dengan adanya api, buah pinus akan membuka dan mengeluarkan bijinya.
7)
Membantu perkecambahan biji yang dibantu oleh api.
Perkecambahan biji yang
tersimpan di dalam tanah dapat distimulasi oleh danya panas dari api.
b. Dampak Kebakaran Hutan
yang Merugikan
Tidak
diragukan lagi bahwa kebakaran memberikan dampak yang merugikan bagi
lingkungan. Hal ini nyata terlihat dan dirasakan pada saat kebakaran hutan yang
besar terjadi pada tahun 1997/1998, dimana hampir semua media massa
memberitakan permasalahan lingkungan yang timbul akibat kebakaran tersebut.
Untuk itu akibat kebakaran hutan dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu dampak
ekologis, dampak ekonomis dan sosial.
1) Dampak ekologis
a) Terhadap vegetasi
Kebakaran
hutan mengganggu suksesi secara alami dan evolusi ekosistem hutan. Kebakaran
menyebabkan perubahan pola vegetasi sesuai dengan pola kebakaran yang terjadi
sehingga akan membentuk pola mosaik yang terdiri dari berbagai fase suksesi.
Hutan yang terbakar menjadi terbuka sehingga merangsang pertumbuhan gulma dan
berbagai spesies eksotik, yang menyebabkan terganggunya keseimbangan ekologi
antar spesies baik flora maupun fauna.
b) Terhadap tanah
Kebakaran
akan memberikan dampak kepada sifat fisik, kimia dan biologi tanah dengan
tahapan yang berbeda tergantung kepada beberapa faktor, seperti : karakteristik
tanah, intensitas dan lamanya kebakaran, waktu dan intensitas hujan setelah
terjadinya kebakaran serta sifat bahan bakar. Sebagai suatu proses fisika
kebakaran akan mempengaruhi suhu tanah, struktur tanah dan kemampuan tanah
untuk menyerap dan menyimpan air. Pada suatu kebakaran yang besar, suhu
permukaan tanah dapat mencapai 200˚C (Brown and Davis, 1973) dan akan
menaikkan suhu pada berbagai lapisan tanah. Bulk density akan meningkat yang
selanjutnya akan menurunkan porositas dan laju infiltrasi dari tanah. Sebagai
akibatnya, aliran permukaan akan meningkat, sehingga tanah menjadi peka
terhadap faktor-faktor yang meningkatkan erosi dan banjir.
Terhadap
kimia tanah, kebakaran akan merubah sifat-sifat kimia tanah melalui tiga cara,
yaitu:
1. Mineral yang dilepaskan dari proses pembakaran
yang tertinggal dalam abu.
2. Perubahan mikroklimat setelah kebakaran.
3. Dekomposisi mineral liat dan penyederhanaan
struktur organik menjadi bahan anorganik (Brown and Davis, 1973 dan
Chandler et al, 1983).
Sumbangan
nutrisi tanah akibat kebakaran tidak berlangsung lama dan terbatas. Bila
kebakaran terjadi secara berulang-ulang, maka degradasi lahan akan meningkat
dan proses pemiskinan unsur hara tanah akan berlangsung.
Kebakaran
hutan juga dapat menyebabkan perubahan populasi organisme dan mikro organisme
tanah yang bermanfaat bagi lingkungan. Perubahan kelimpahan, frekuensi dan
jumlah jenis akan terjadi akibat dari kematian organisme dan mikro organisme
tanah tersebut.
c) Terhadap air
Dampak
kebakaran hutan terhadap air dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan, yaitu
kuantitas dan kualitas air.
- Terhadap
kuantitas air, kebakaran hutan akan menghilangkan atau mengurangi vegetasi
penutup tanah yang selama ini memegang peranan penting dalam siklus hidrologi.
Proses peredaran air dalam
siklus hidrologi hutan akan terganggu. Transpirasi dan intersepsi dari vegetasi
akan hilang atau berkurang. Sejalan dengan itu, proses infiltrasi akan
berkurang dengan adanya pemadatan tanah. Sementara itu, aliran permukaan dan
aliran bawah permukaan akan meningkat. Akibatnya, erosi dan banjir akan dialami
oleh bagian hilir.
- Terhadap
kualitas air, kebakaran hutan terutama berkaitan dengan endapan yang terbawa
oleh aliran permukaan. Dalam hal ini, kekeruhan akan meningkat dan oksigen
terlarut akan berkurang sehingga akan mengganggu kehidupan ekosistem perairan.
Hal ini akan diperburuk dengan adanya unsur-unsur yang berbahaya, tercuci dan
terbawa ke perairan terbuka sehingga menyebabkan kematian bagi organisma yang
hidup di perairan. Terlepas dari semua ini, tentu saja berdampak luas terhadap kehidupan
masyarakat sekitar.
d) Terhadap udara
Proses
pembakaran bahan bakar hutan menghasilkan panas serta senyawa lainnya seperti
karbon monoksida, karbon dioksida, beberapa jenis hidrokarbon, uap air dan
unsur-unsur lainnya dalam bentuk gas, cair atau padatan (partikel). Hasil dari
pembakaran tersebut dapat menjadi polutan yang sangat berbahaya bagi kehidupan
manusia.
2) Dampak ekonomis
Secara
langsung maupun tidak langsung, kebakaran hutan dan lahan yang terjadi pada
tahun 1997/1998 mempengaruhi sektor ekonomi nasional. Dampak langsung berupa kerugian
ekonomi seperti : hilangnya hasil hutan (kayu dan non kayu), kerugian yang
ditanggung oleh sektor perkebunan, hilangnya keanekaragaman hayati dan
lain-lain. Sedangkan dampak tidak langsung adalah dampak yang diakibatkan oleh asap,
seperti dampak pada kesehatan, kehilangan hari kerja, kehilangan fungsi
ekologi, kerugian yang ditanggung oleh sektor pariwisata dan perhubungan. Kerugian
yang diderita akibat kebakaran yang terjadi pada tahun 1997/1998 yang lalu
adalah Rp 9,5 Trilyun sementara menurut perhitungan resmi pemerintah kerugian
secara ekonomi adalah Rp 3,64 Trilyun. Adanya perbedaan ini berasal dari
hilangnya pendapatan yang seharusnya dapat dipergunakan untuk hal-hal lain yang
bermanfaat bagi Indonesia, terutama bagi pembangunan nasional (EEPSEA and WWF,
1998). Dampak ekonomi yang bisa dihitung adalah kerugian langsung yang diderita
oleh sektor perkebunan, kehutanan, kesehatan, transportasi, pariwisata dan
biaya langsung yang dikeluarkan untuk penanggulangan dan pemadaman.
Karena
kerugian ekologi tidak seluruhnya bisa dihitung menjadi nilai rupiah, maka
kerugian ekologi yang dimungkinkan untuk dihitung yaitu kerugian ekologi yang
masuk saja.
3) Dampak sosial
Tidak
banyak proyek analisis kebakaran hutan yang dilakukan di Indonesia menyinggung
maupun mengungkapkan dampak kebakaran pada masyarakat lokal dan mata
pencaharian mereka. Berbagai studi lebih difokuskan pada kerugian tingkat makro
seperti kerugian sektor transportasi dan industri kehutanan. Semua sektor itu
dinilai lebih banyak pengaruhnya pada politik dan ekonomi dibandingkan petani
miskin.
Selain
itu terdapat kerusakan tidak ternilai (inmaterial).
Kerusakan tidak ternilai adalah kerusakan yang terjadi namun sangat sulit untuk
dikuantifikasikan, sehingga dinyatakan dalam bentuk kualitatif saja.
Kerusakan
inmaterial yang dimaksud adalah adanya pernyataan Negara sebagai negara
pencemar akibat asap yang ditimbulkan dari pembakaran serta adanya ancaman
boikot terhadap produk yang dihasilkan dari areal penyiapan dengan menggunakan
api.
5. Faktor Penyebab Kebakaran Hutan
Secara
garis besar penyebab kebakaran hutan adalah berasal dari kejadian alam dan
kegiatan manusia. Di Indonesia kejadian alam yang menyebabkan terjadinya
kebakaran hutan jarang terjadi. Kebakaran hutan oleh faktor manusia kasusnya
akan menjadi lebih kompleks. Dalam hal ini faktor sosial ekonomi dan ketidaktahuan
penduduk merupakan pendorong utama atas terjadinya kebakaran hutan (Mangandar,
2000).
Hasil
Penelitian ICRAF/CIFOR di 6 provinsi di Indonesia beberapa contohnya Sumatera
dan Kalimantan menunjukkan bahwa penyebab kebakaran hutan dan lahan terjadi
secara langsung dan tidak langsung.
Penyebab
langsung kebakaran hutan dan lahan pada umumnya yaitu (Suyanto, 2002) :
a.
Api digunakan dalam pembukaan lahan.
b.
Api menyebar sebagai senjata dalam permasalahan konflik tanah.
c.
Api menjalar secara tidak sengaja.
d.
Api yang disertai dengan ekstraksi sumberdaya alam.
Strategi
pembangunan wilayah yang lebih menekankan pada usaha skala besar secara nyata
berpengaruh terhadap terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Api digunakan dalam
persiapan lahan baik oleh pengusaha perkebunan dan juga digunakan dalam
pembangunan pemukiman transmigrasi. Disamping itu petani juga menggunakan api
untuk persiapan lahan untuk membuat perkebunan. Pembakaran hutan dan lahan
secara sengaja juga merupakan penyebab kebakaran yang utama di daerah yang kaya
akan sumber daya alam, dimana terdapat masalah keterbatasan lahan untuk
produksi pertanian dan atau terdapat masalah konflik pengusahaan lahan atau
akses ke lahan.
Walaupun
bukan sebagai faktor utama, api yang digunakan dalam kegiatan untuk mempermudah
akses dalam mengekstraksi sumberdaya alam seperti pengambilan ikan, berburu dan
mengumpulkan madu.
Adapun penyebab tidak
langsung kebakaran hutan dan lahan yaitu :
a.
Penguasaan Lahan
Masalah
ini merupakan masalah utama yang kerap terjadi hampir di seluruh lokasi hutan
dan perkebunan, karena adanya masalah yang paling utama yang berkembang pada
masyarakat tentang lemahnya keintensifan untuk mengontrol api supaya tidak
menyebar ke lahan milik perkebunan atau hutan yang mana mereka merasa bukan
tanggung jawabnya untuk melakukan hal itu. Hal tersebut juga ditimbulkan karena
adanya konflik penguasaan lahan antara masyarakat lokal, pendatang, pengusaha
maupun pemerintah. Masalah lainnya yaitu lemahnya sistem hukum yang mengatur
masalah klaim lahan oleh masyarakat dan hak-hak tradisional atas lahan.
b. Alokasi Penggunaan Lahan
Kebijakan
alokasi penggunaan lahan lain yang tidak tepat, tidak adil dan tidak
terkoordinasi menyebabkan masalah dimana api digunakan untuk mengusir masyarakat
yang sudah terlebih dahulu mengolah lahan tersebut atau digunakan oleh
masyarakat untuk memperoleh kembali lahan-lahan mereka.
c. Insentif / Dis-intensif
Ekonomi
Keuntungan
finansial dari konversi hutan (umumnya yang sudah pernah diusahakan/ditebang)
menjadi penggunaan lahan lainnya merupakan faktor utama konversi hutan menjadi
non-hutan.
d. Degradasi Hutan dan
Lahan
Beberapa
faktor yang mempengaruhi degradasi hutan dan lahan seperti kegiatan
penebangan/pembalakan liar, sistem drainase pada areal rawa, dan kegiatan
pengelolaan lahan yang berkelanjutan. Rehabilitasi areal hutan dan lahan yang
terdegradasi sangat penting untuk mengurangi masalah kebakaran.
e. Dampak dari Perubahan
Karakteristik Kependudukan
Peningkatan
jumlah penduduk oleh tingginya tingkat migrasi dalam skala besar baik secara
spontan maupun melalui program transmigrasi berpengaruh terhadap pembukaan hutan dan lahan dimana api
digunakan sebagai teknik dalam persiapan lahan.
f. Lemahnya Kapasitas
Kelembagaan
Lemahnya
kelembagaan dalam hal pengelolaan hutan mengakibatkan tingginya pengalihan
fungsi hutan dan non hutan. Disamping itu, tidak jelasnya
masalah
status lahan atau hak terhadap lahan mengakibatkan lemahnya intensitas
masyarakat
untuk menjaga hutan dari bahaya kebakaran.
B. STRATEGI PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN
Chandler
(1962) diacu dalam Pramono (2006) menyebutkan strategi merupakan alat untuk
mencapai tujuan perusahaan/lembaga dalam kaitannya dengan tujuan jangka
panjang, program tindak lanjut serta prioritas alokasi sumberdaya. Strategi
merupakan tindakan yang bersifat incremental (senantiasa meningkat),
terus menerus dan dilakukan berdasarkan sudut pandang tentang apa yang
diharapkan oleh masyarakat yang akan datang. Dengan demikian perencanaan
strategi hampir selalu dimulai dari apa yang dapat terjadi, bukan dimulai dari
apa yang terjadi.
Menurut
Suratmo et al. (2003) strategi pengendalian kebakaran hutan adalah semua
aktivitas untuk melindungi hutan dari kebakaran liar.
Aktivitas
pengendalian kebakaran hutan mencakup 3 komponen kegiatan, yaitu:
1.
Pencegahan kebakaran hutan.
2.
Pra-pemadaman kebakaran hutan.
3.
Pemadaman kebakaran hutan.
1. Pencegahan Kebakaran
Hutan
Pencegahan
kebakaran merupakan salah satu komponen pengendalian kebakaran hutan, yang
mencakup semua cara untuk mengurangi atau meminimumkan jumlah kejadian
kebakaran liar. Pencegahan kebakaran bukan bertujuan untuk menghilangkan semua
kejadian kebakaran liar. Menghilangkan semua kejadian kebakaran merupakan
pekerjaan yang sangat sulit dan tidak mungkin dapat dilakukan. Banyak kejadian
kebakaran yang sumber apinya tidak diketahui atau berasal dari sumber yang
berada di luar jangkauan kemampuan pengendalian suatu organisasi pengendalian
kebakaran hutan.
Pencegahan
kebakaran hutan dapat dipandang sebagai kegiatan yang tak terpisah dari
pengendalian kebakaran, namun keberhasilannya hendaknya dievaluasi dalam
konteks keberhasilan atau kegagalan pengendalian kebakaran secara keseluruhan.
Pencegahan dan pemadaman merupakan kegiatan yang komplementer, bukan kegiatan
substitusi. Masing-masing kegiatan tidak ada yang lengkap dan sempurna,
keduanya harus dijembatani oleh kegiatan manajemen bahan bakar dan
pra-pemadaman.
Pencegahan
kebakaran merupakan kegiatan yang terpenting dalam pengendalian kebakaran dan
merupakan pekerjaan yang harus dilakukan secara terus menerus. Seringkali
pencegahan kebakaran merupakan cara yang lebih ekonomis untuk mengurangi
kerusakan dan kerugian yang ditimbulkan oleh kebakaran, tanpa harus menggunakan
peralatan yang mahal.
a. Perencanaan Pencegahan
Kebakaran Hutan
Agar
dapat dilaksanakan secara efektif, pencegahan kebakaran akan memerlukan :
1)
Organisasi pelaksana yang memadai.
2)
Pengetahuan tentang kebakaran dan penyebab terjadinya.
3)
Petugas yang terlatih untuk melaksanakan kegiatan pencegahan.
4)
Rencana pencegahan yang telah disiapkan sebelumnya.
5)
Biaya yang diperlukan untuk pencegahan.
Rencana
pencegahan kebakaran diperlukan agar operasi pencegahan dapat dilaksanakan dengan
efektif. Dalam buku rencana pencegahan kebakaran perlu dicantumkan peta-peta,
label dan grafik sesuai dengan keperluan kegiatan. Rencana ini selalu
diperbaharui, paling sedikit sekali setahun.
Langkah
pertama dalam penyusunan rencana pencegahan adalah memepelajari sejarah
kebakaran hutan, mencakup :
1)
Sebab-sebab terjadinya kebakaran.
2)
Waktu terjadinya kebakaran (bulan, tanggal dan jam kejadian).
3)
Waktu yang paling sering terjadi kebakaran (cuaca, bahan bakar, waktu).
4)
Banyaknya kebakaran, digolongkan menurut penyebabnya.
5)
Tempat terjadinya kebakaran (peta lokasi, tipe hutan).
Data
sejarah tersebut akan menentukan sasaran (goals) dari rencana pencegahan
kebakaran. Berdasarkan data sejarah tersebut, disusun rencana pencegahan
kawasan hutan yang bersangkutan. Rencana pencegahan kebakaran dapat berbeda
untuk setiap daerah, karena bahan bakar, sumber api, kondisi iklim, topografi
dan lain-lainnya berbeda. Sebagai pegangan umum rencana tersebut dapat disusun
dengan mengikuti sebagai berikut :
1)
Dasar rencana pencegahan.
a) Peta kejadian kebakaran.
b) Statistik kebakaran
(dalam bentuk grafik).
c) Peta resiko kebakaran/peta
sumber api.
d) Peta kegiatan/operasi
kehutanan.
e) Peta bahan bakar yang
mudah terbakar.
f) Peta tanda dan
peringatan bahaya kebakaran.
2)
Tujuan pencegahan kebakaran.
3)
Ringkasan permasalahan dan tindakan yang harus dilakukan.
4)
Sumberdaya untuk operasi pencegahan kebakaran.
a) Penggunaan petugas,
meliputi: rimbawan, polisi dan lain-lain.
b) Kerja sama dengan
pimpinan desa/kampung.
c) Pembiayaan.
5)
Undang-undang, peraturan dan ketentuan tentang kebakaran hutan.
6)
Pendidikan umum, media massa, pedoman bagi wisatawan, pemburu, pekemah dan
lain-lain.
7)
Pengurangan bahan bakar di daerah yang berisiko tinggi terbakar.
8)
Tanda, poster, papan peringatan, dan bahan-bahan informasi lainnya.
b.
Metode Pencegahan Kebakaran Hutan
Metode
pencegahan kebakaran hutan sering dilakukan dengan menggunakan metode 3E yaitu:
Education (Pendekatan Pendidikan), Law Enforcement (Pendekatan
Hukum) dan Engineering (Pendekatan Teknis).
1) Pendekatan Pendidikan
Pendidikan/penyuluhan
tentang kebakaran, khususnya tentang akibat atau kerugian yang ditimbulkannya,
sumber api kebakaran dan cara-cara pencegahannya, ditujukan kepada masyarakat
umum, khususnya masyarakat sekitar hutan.
Karena
pendidikan/penyuluhan ini bertujuan untuk mengubah sikap masyarakat, maka
pendidikan/penyuluhan ini perlu dilaksanakan secara terusmenerus. Materi dan
metode yang diterapkan perlu disesuaikan dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat
setempat (pengetahuan, minat, sikap, pendapat, kepercayaan). Pendidikan/penyuluhan
dapat dilaksanakan secara perorangan, kelompok dan massal.
Pendekatan
pendidikan/penyuluhan dapat dilakukan melalui, pendidikan/penyuluhan
perorangan, perkumpulan dan kelompok masyarakat, media massa, pendidikan di
sekolah, pemasangan papan peringatan, poster, kampanye pencegahan kebakaran.
2) Pendekatan Hukum
(Undang-undang dan Peraturan)
Dasar
hukum untuk pencegahan kebakaran hutan bersumber dari undang-undang, surat keputusan
dan peraturan daerah setempat, tentang kebakaran hutan. Undang-undang,
peraturan pemerintah pusat dan daerah tentang penggunaan api sangat penting
bagi pencegahan kebakaran hutan. Undang-undang dan peraturan haruslah adil dan
dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Menghukum mereka yang menimbulkan
kebakaran hutan merupakan suatu cara yang baik untuk pencegahan kebakaran
hutan. Dalam hal ini diperlukan kerjasama dengan kepolisian dan kejaksaan.
3) Pendekatan Teknis
Manajemen
bahan bakar adalah tindakan atau praktek yang ditujukan untuk mengurangi
kemudahan bahan bakar untuk terbakar (fuel flammability) dan mengurangi
kesulitan dalam pemadaman kebakaran hutan. Manajemen bahan bakar mempunyai
tujuan yang bermacam-macam, yaitu :
a) Untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan.
b) Untuk memperlambat penjalaran api kebakaran
hutan.
c) Untuk mengurangi lama waktu terjadinya
kebakaran.
d) Untuk mengurangi banyaknya asap yang timbul.
e) Untuk menciptakan lingkungan yang tidak terlalu
panas pada saat operasi pemadaman kebakaran.
f) Untuk mempermudah operasi pemadaman kebakaran.
Manajemen bahan bakar dapat
dilakukan dengan 3 cara utama yaitu :
a) Modifikasi bahan bakar
Usaha
untuk merubah satu atau beberapa macam karakteristik bahan bakar. Tujuannya
adalah agar bahan bakar tidak mudah terbakar atau kalau terjadi kebakaran
penjalaran apinya lambat, sehingga mudah dipadamkan. Seperti memotong-motong
dahan dan ranting pohon yang berupa limbah penebangan menjadi potongan yang
lebih kecil, sehingga bahan bakar tersebut lebih cepat terdekomposisi, serta
menebas tumbuhan bawah di lantai hutan secara periodik.
b) Pengurangan bahan bakar
Dengan
tujuan agar bahan bakar hutan berkurang jumlahnya, sehingga bila terjadi
kebakaran hutan, besarnya nyala api, kecepatan penjalaran dan lamanya kebakaran
dapat dikurangi. Seperti memanfaatkan kayu limbah penebangan untuk berbagai
keperluan serta mempercepat proses dekomposisi serasah dengan menggunakan
organisme perombak serasah.
c) Isolasi bahan bakar
Adalah
kegiatan memisahkan suatu kawasan hutan (sebagai suatu hamparan bahan bakar)
dari kawasan di luarnya (sebagai hamparan bahan bakar lain) dan atau membagi
kawasan hutan tersebut menjadi bagian-bagian kawasan hutan (bagian hamparan
bahan bakar) yang lebih kecil, oleh suatu penyekat yang disebut jalur isolasi.
Tujuan
utama isolasi bahan bakar adalah untuk menghambat penjalaran api kebakaran dari
luar kawasan hutan ke dalam kawasan hutan dan sebaliknya. Jalur isolasi terdiri
dari jalur isolasi alami dan jalur buatan.
Jalur
isolasi alami misalnya adalah alur sungai dan sempadan sungai. Jalur isolasi
buatan terdiri dari jalur yang sudah ada, yang dirancang dengan tujuan bukan
sebagai jalur isolasi tetapi dapat didayagunakan sebagai jalur isolasi (jalan
setapak, jalan umum) dan jalur isolasi khusus yang sengaja dibuat. Ada 3 macam
jalur isolasi khusus yang dapat dibuat, yaitu :
1. Sekat bakar (fire
break)
Suatu
sekat baik alami maupun buatan dalam suatu hamparan bahan bakar yang digunakan
untuk memisahkan, menghentikan dan mengendalikan penjalaran api atau untuk
menyediakan garis pengendali untuk memulai pemadaman kebakaran.
2. Sekat bahan bakar (fuel
break)
Suatu
jalur yang dibuat agar vegetasi yang ada dimodifikasi sehingga kebakaran akan
lebih mudah terkendali, biasanya lebar jalur sekitar 20 sampai 300 meter. Sekat
bahan bakar ini biasanya tertutup vegetasi yang mempunyai volume bahan bakar
rendah atau sulit terbakar. Vegetasi yang banyak digunakan adalah rumput pendek
atau tumbuhan pendek lainnya.
3. Jalur hijau (green
belt)
Merupakan
suatu jalur yang ditanami dengan tanaman yang relatif tahan kebakaran yang
dipelihara dan difungsikan sebagai fire break. Jenis-jenis pohon/perdu
yang cocok untuk jalur hijau adalah kaliandra bunga merah (Caliandra
callothyrsus) dan seuseureuhan (Piper aduncum).
2. Pra-Pemadaman Kebakaran
Hutan
Pra-pemadaman
kebakaran mencakup semua kegiatan yang dilaksanakan sebelum terjadi kebakaran,
agar bila terjadi kebakaran dapat dipadamkan secara efektif dan aman. Jadi
pra-pemadaman ini merupakan kegiatan persiapan, atau kesiapsiagaan yang
dilakukan setiap tahun menjelang musim kebakaran atau musim kemarau, oleh
setiap organisasi yang bergerak di bidang pengelolaan hutan. Tanpa ada kegiatan
pra-pemadaman maka kegiatan pemadaman kebakaran akan menjadi tidak terorganisir
dengan baik.
Pra-pemadaman
terdiri dari berbagai kegiatan yaitu :
a.
Deteksi Kebakaran Hutan
Merupakan
kegiatan yang dilakukan untuk mengetahui adanya kebakaran dan lokasinya.
Deteksi kebakaran merupakan bagian yang sangat penting dalam pemadaman
kebakaran hutan. Tanpa mengetahui lokasinya, kebakaran tersebut tidak bisa
dipadamkan. Kemampuan organisasi untuk dapat menemukan lokasi kebakaran dengan
segera dan cepat, merupakan dasar dari pemadaman yang efektif.
Metode
deteksi dapat berupa patroli darat, deteksi darat yang permanen melalui pos
pengawasan (look out towers), patroli udara, remote sensing serta
laporan dari masyarakat.
b. Komunikasi
Komunikasi
sangat penting dalam pemadaman kebakaran hutan. Salah satu penentu keberhasilan
pemadaman kebakaran hutan adalah tersedianya alat komunikasi. Tersedianya alat
komunikasi yang memadai dan terpercaya akan berarti berkurangnya kerugian,
karena dengan komunikasi yang baik, semua aktivitas akan berjalan cepat dan
efektif. Komunikasi yang efektif dapat memberikan hasil akhir yang baik pada
kebanyakan operasi pemadaman kebakaran.
c. Penyiapan Organisasi
Pemadaman Kebakaran
Pemadaman
kebakaran hutan merupakan kegiatan darurat (emergency). Untuk mencapai
keberhasilan tugas-tugas dalam pemadaman kebakaran hutan, diperlukan penyiapan
organisasi yang baik.
d. Pelatihan Petugas
Pelatihan
petugas pemadaman kebakaran merupakan bagian yang sangat penting dalam kegiatan
pra-pemadaman. Fasilitas dan peralatan terbaik yang dapat disediakan tidak akan
efektif bila petugas-petugas yang menggunakannya tidak terlatih dalam
penggunaan peralatan tersebut. Pelatihan keterampilan juga diperlukan secara
rutin.
e. Penyiapan Peralatan
Peralatan
pemadaman kebakaran harus dirancang dengan baik dan digunakan hanya untuk
keperluan pemadaman. Peralatan tersebut harus selalu terpelihara dengan baik
sehingga dapat digunakan setiap saat.
f. Penyiapan Logistik dan
Bahan
Agar
para petugas pemadaman dapat bekerja dengan baik, pasokan makanan dan air harus
dipersiapkan dengan seksama. Selain itu, diperlukan juga pasokan bahan-bahan
untuk peralatan pemadaman, misalnya oli, bahan bakar, suku cadang serta air
untuk pemadaman.
g. Penyiapan Lapangan
Untuk
menghadapi musim kemarau, prasarana lapangan yang ada perlu dipersiapkan dengan
seksama. Jalan hutan, jalur-jalur isolasi, menara pengawas kebakaran, kolam
air, pos jaga, dll.
3.
Pemadaman Kebakaran Hutan
a. Prinsip Pemadaman
Kebakaran Hutan
Suatu
kebakaran tidak akan pernah terjadi tanpa tersedia oksigen, bahan bakar dan
sumber panas yang cukup yang dapat berkombinasi dengan sesuai.
Berdasarkan
konsep segitiga api tersebut, prinsip pemadaman kebakaran hutan adalah
menghilangkan satu unsur atau lebih dari sisi-sisi segitiga api tersebut. Hal ini
dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1) Pendinginan
=> Api dapat dipadamkan dengan cara menurunkan suhu sampai di bawah suhu
penyulutan, menggunakan air atau tanah basah pada bahan yang sedang terbakar.
2) Pengurangan
oksigen => Api dapat dipadamkan dengan cara menghilangkan oksigen dari bahan
bakar yang sedang terbakar.
3) Melaparkan
=> Api dapat ”dilaparkan” dengan cara menghilangkan pasokan bahan bakar yang
tersedia.
b. Metode Pemadaman
Kebakaran Hutan
Ada
2 metode pemadaman kebakaran hutan yaitu metode pemadaman langsung dan metode
pemadaman tidak langsung. Perbedaan dasar antara kedua metode ini adalah dalam
hal penempatan lokasi ilaran api terhadap tepi api kebakaran. Ilaran api adalah
jalur bersih yang dibuat dengan cara membersihkan vegetasi dan mengeruk tanah
sampai tanah mineral untuk menahan perambatan api. Dalam prakteknya, kedua
metode ini dapat digunakan secara kombinasi. Tidak ada cara ”terbaik” untuk
memadamkan semua kebakaran hutan. Hal yang penting adalah bagaimana memadamkan
kebakaran hutan yang paling cepat, paling mudah dan paling aman.
1) Metode Pemadaman
Langsung
Pemadaman
dilakukan secara langsung pada tepi api di areal kebakaran. Bahan bakar yang
terbakar dipadamkan atau dipisahkan dari bahan bakar yang belum terbakar. Pada
metode ini semua bahan bakar mudah terbakar yang dihilangkan dari tepi kebakaran,
hendaknya dilemparkan ke dalam areal yang terbakar.
Syarat
pemadaman kebakaran secara langsung :
a)
Bila api dapat dengan segera dipadamakan karena kondisi bahan bakar permukaan
dan bahan bakar cukup mendukung untuk pelaksanaannya.
b)
Bila panas dan atau asap dari kebakaran memungkinkan para petugas pemadaman
untuk bekerja di sepanjang tepi api kebakaran.
c)
Bila struktur tanahnya cukup menunjang untuk pembuatan suatu ilaran api.
Keuntungan pemadaman
kebakaran secara langsung :
a) Menggunakan areal yang telah terbakar habis di
sepanjang ilaran api.
b) Areal yang terbakar dapat dipertahankan sampai
minimum.
c) Kebakaran kecil tidak mempunyai kesempatan
untuk berubah menjadi besar.
d) Mengurangi ketidak pastian untuk menjaga ilaran
api selama operasi pembakaran habis.
e) Dapat menggunakan regu pemadaman yang jumlah
anggotanya sedikit dan dapat melaksanakan tugas-tugas perorangan.
Kerugian pemadaman
kebakaran secara langsung :
a) Dapat menimbulkan ilaran api yang tidak
beraturan.
b) Ada kemungkinan bahwa patroli ilaran api di
daerah teluk dan jari api terlupakan.
c) Petugas diminta untuk bekerja pada kondisi
sulit karena panas dan asap.
d) Tidak memperhitungkan keuntungan dengan adanya
sekat-sekat alami yang telah ada atau tipe bahan bakar yang cocok untuk pembuatan
ilaran api.
e) Ada kemungkinan para petugas tidak
memperhatikan api lompat (spot fire), atau tidak mampu memadamkan titik panas (hot
spot) pada tepi api.
2) Metode Pemadaman Tidak
Langsung
Tindakan
pemadaman dilakukan pada bahan bakar yang tidak terbakar yang letaknya di luar
tepi api kebakaran. Metode ini memungkinkan para petugas pemadaman untuk
bekerja jauh dari pengaruh panas api dan dapat memanfaatkan tipe bahan bakar
dan sekat-sekat alami yang sesuai.
Sebuah
ilaran api dapat dipilih atau dibuat jauh dari tepi api kebakaran dan bahan
bakar antara ilaran api dengan tepi kebakaran dapat dibakar habis. Jarak antara
tepi api dengan lokasi ilaran api akan tergantung pada berbagai faktor. Pada saat
pembuatan ilaran api, bahan bakar harus disingkirkan jauh dari areal yang sedang
terbakar.
Syarat
pemadaman kebakaran secara tidak langsung :
a) Bila intensitas panas dan asap terlalu tinggi
untuk memungkinkan bekerja pada tepi api kebakaran.
b) Bila kondisi tanah cukup mendukung untuk
pembuatan ilaran api dengan cepat.
c) Bila api mempunyai kecepatan penjalaran yang
tinggi karena kondisi bahan bakar, angin dan topografi mendukungnya.
d) Bila jalur-jalur yang ada seperti jalan,
sungai, danau atau yang lainnya dapat digunakan sebagai sekat bakar.
C. MANAJEMEN PENGENDALIAN KEBAKARAN
HUTAN TERPADU
Kebakaran
hutan memungkinkan selalu terjadi setiap tahun dan cenderung merusak lingkungan
hidup. Penyebab utama kegagalan upaya pengendalian kebakaran adalah pendekatan
yang sepotong-potong dan tak tentu ujung pangkalnya terhadap permasalahan yang
ada.
Perhatian
umumnya ditujukan pada upaya pemadaman kebakaran, faktor-faktor lainnya
terlupakan. Padahal semestinya pemadaman perlu didukung oleh program-program
pencegahan dan manajemen bahan bakar yang lebih mantap. Sejalan dengan itu,
suatu sistem manajemen kebakaran hutan yang terpadu dan terkoordinasi menjadi
keharusan. Sistem dimaksud harus meliputi komponen-komonen sebagai berikut:
1. Pencegahan kebakaran yang disebabkan oleh manusia melalui
pendidikan dan penyuluhan.
2. Deteksi kebakaran yang baik melalui sistem deteksi yang
mencakup jaringan kerja titik-titik pengamatan, patroli yang efektif dan
efisien, penggunaan sistem citra satelit dan GIS, sistem komunikasi yang baik
dan sebagainya.
3. Tindakan awal penanggulangan yang cepat.
4. Tindakan lanjutan yang mantap dan terarah.
Masing-masing
komponen tersebut di atas berperan penting dalam mensukseskan keseluruhan
sistem manajemen kebakaran hutan. Kelalaian atau ketidakacuhan terhadap salah
satu komponen tersebut akan dapat menyebabkan kegagalan sistem manajemen.
Rencana
manajemen kebakaran hutan untuk masing-masing kawasan harus disusun dengan
menunjukkan tujuan dan sasaran, kawasan-kawasan beresiko kebakaran tinggi
(menurut data kebakaran yang lalu atau analisis kerawanan), sumber daya yang
ada, dan kegiatan-kegiatan pengendalian kebakaran. Rencana-rencana ini perlu
ditelaah dan ditinjau secara teratur.
D. STRATEGI PENDAMPINGAN DALAM PENYULUHAN KEBAKARAN HUTAN
Keberhasilan
pembangunan kehutanan sangat ditentukan oleh sejauhmana tingkat partisipasi
masyarakat dalam berkontribusi terhadap upaya pengelolaan hutan dan kualitas
sumberdaya manusia yang mendukungnya. Dalam upaya pengembangan kualitas
masyarakat khususnya yang bermukim di dalam dan sekitar hutan agar maju dan mandiri
sebagai pelaku pembangunan kehutanan, maka peranan penyuluhan kehutanan
sangatlah strategis.
Materi penyuluhan
tentang kebakaran hutan yang disampaikan dalam pendampingan disesuaikan dengan
kondisi dan karakteristik masyarakat sasaran, yaitu:
a.
Pencegahan kebakaran hutan
b.
Sistem penanggulangan kebakaran
hutan
c.
Penerapan zero bad burning
d.
Peningkatan pendapatan masyarakat
dan penyerapan tenaga kerja dalam usaha kehutanan
e.
Penegakan hukum untuk menghindari
perusakan sumberdaya hutan
f.
Peningkatan pengamanan secara
partisipatif melalui kemitraan dengan masyarakat
Metode penyuluhan,
yaitu:
a.
Metode partisipatif yang membuka
ruang-ruang/peluang-peluang belajar bersama masyarakat
b.
Menumbuhkan rasa saling percaya,
kesepahaman, kesetaraan dan proses kebersamaan dengan masyarakat sasaran
c.
Metode
demonstratsi/peragaan-peragaan kegiatan dan hasil pembangunan kehutanan
d.
Mengembangkan forum-forum dialog
antar stakeholders
III.
METODELOGI
Untuk menjawab
permasalah ini, digunakan 2 metode, yaitu:
1.
Studi Sosial-ekonomi, melalui Participatory Rural Appraisal (PRA) yang
lebih banyak membutuhkan partisipasi masyarakat lokal dalam menjawab sejarah
perubahan lahan dan melakukan pemetaan sederhana mengenai kekuatan sumberdaya
yang ada, khususnya yang mempunyai implikasi langsung terhadap terjadinya
kebakaran. Sedangkan teknik Rapid Rural Appraisal (RRA) lebih banyak
dilakukan secara institusional terhadap lembaga, pemerintah daerah mapun pusat,
dan perusahaanperusahaan yang bersangkutan.
2.
Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG), melalui analisa data hotspot
(Citra Satelit NOAA) dan identifikasi, analisa dan rektifikasi penutupan lahan sekaligus
perubahan lahan yang terjadi dalam kurun waktu tertentu menggunakan Citra
Landat TM dan SAR. Kedua hasil tersebut diintegrasikan dan dianalisa untuk
mendeskripsikan The Underlying Causes and Impact of Fire.
Gambar 2. Kebakaran Hutan
IV.
PEMBAHASAN
Tindakan pencegahan merupakan
komponen terpenting dari seluruh sistem penanggulangan bencana termasuk kebakaran.
Bila pencegahan dilaksanakan dengan baik, seluruh bencana kebakaran dapat
diminimalkan atau bahkan dihindarkan. Pencegahan kebakaran diarahkan untuk
meminimalkan atau menghilangkan sumber api di lapangan. Upaya ini pada dasarnya
harus dimulai sejak awal proses pembangunan sebuah wilayah, yaitu sejak
penetapan fungsi wilayah, perencanaan tata guna hutan/lahan, pemberian ijin
bagi kegiatan, hingga pemantauan dan evaluasi.
Beberapa kegiatan yang dapat
dilakukan untuk mencegah timbulnya api di antaranya :
1. Penatagunaan lahan sesuai dengan peruntukan dan
fungsinya masing-masing, dengan mempertimbangkan kelayakannya secara ekologis
di samping secara ekonomis.
2. Pengembangan sistem budidaya pertanian dan
perkebunan, serta sistem produksi kayu yang tidak rentan terhadap kebakaran,
seperti pembukaan dan persiapan lahan tanpa bakar (zero burning-based land
clearing), atau dengan pembakaran yang terkendali (controlled
burning-based land clearing).
3. Pengembangan sistem kepemilikan lahan secara
jelas dan tepat sasaran. Kegiatan ini dimaksudkan untuk menghindari pengelolaan
lahan yang tidak tepat sesuai dengen peruntukan dan fungsinya.
4. Pencegahan perubahan ekologi secara
besar-besaran diantaranya dengan membuat dan mengembangkan pedoman pemanfaatan
hutan dan lahan gambut secara bijaksana (wise use of peatland), dan
memulihkan hutan dan lahan gambut yang telah rusak.
5. Pengembangan program penyadaran masyarakat
terutama yang terkait dengan tindakan pencegahan dan pengendalian kebakaran.
Program ini diharapkan dapat mendorong dikembangkannya strategi pencegahan dan
pengendalian kebakaran berbasis masyarakat (community-based fire management).
6. Pengembangan sistem penegakan hukum. Hal ini
mencakup penyelidikan terhadap penyebab kebakaran serta mengajukan pihak-pihak
yang diduga menyebabkan kebakaran ke pengadilan.
7. Pengembangan sistem informasi kebakaran yang
berorientasi kepada penyelesaian masalah. Hal ini mencakup pengembangan sistem
pemeringkatan bahaya kebakaran (Fire Danger Rating System) dengan memadukan
data iklim (curah hujan dan kelembaban udara), data hidrologis (kedalaman muka air
tanah dan kadar lengas tanah), dan data bahan yang dapat memicu timbulnya api.
Kegiatan ini akan memberikan gambaran secara kartografik terhadap kerawanan
kebakaran. Gambarannya dapat berupa peta bahaya kebakaran yang berhubungan
dengan kondisi mudahnya terjadi kebakaran, peta resiko kebakaran yang berkaitan
dengan sebab musabab terjadinya kebakaran, dan peta sejarah kebakaran yang
penting untuk evaluasi penanggulangan kebakaran.
Gambar 3. Penyuluhan Kepada Masyarakat
Pengendalian kebakaran
Kegiatan pengendalian kebakaran
meliputi kegiatan mitigasi, kesiagaan, dan pemadaman api. Kegiatan mitigasi
bertujuan untuk mengurangi dampak kebakaran seperti pada kesehatan dan sektor
transportasi yang disebabkan oleh asap. Beberapa kegiatan mitigasi yang dapat
dilakukan antara lain: (1) menyediakan peralatan kesehatan terutama di daerah
rawan kebakaran, (2) menyediakan dan mengaktifkan semua alat pengukur debu di
daerah rawan kebakaran, (3) memperingatkan pihak-pihak yang terkait tentang
bahaya kebakaran dan asap, (4) mengembangkan waduk-waduk air di daerah rawan
kebakaran, dan (5) membuat parit-parit api untuk mencegah meluasnya kebakaran
beserta dampaknya.
Kesiagaan dalam pengendalian
kebakaran bertujuan agar perangkat penanggulangan kebakaran dan dampaknya
berada dalam keadaan siap digerakkan. Hal yang paling penting dalam tahap ini
adalah membangun partisipasi masyarakat di kawasan rawan kebakaran, dan
ketaatan para pengusaha terhadap ketentuan penanggulangan kebakaran.
Gambar 4. Tim Pemadam Kebakaran
Tahapan
ketiga adalah kegiatan pemadaman api. Pada tahap ini usaha lokal untuk
memadamkan api menjadi sangat penting karena upaya di tingkat lebih tinggi
memerlukan persiapan lebih lama sehingga dikhawatirkan api sudah menyebar lebih
luas. Pemadaman api di kawasan bergambut jauh lebih sulit daripada di kawasan
yang tidak bergambut. Hal ini terkait dengan kecepatan penyebaran api yang
sangat cepat dan tipe api di bawah permukaan. Strategi pemadaman api secara
konvensional seperti pada kawasan hutan dan lahan tidak bergambut harus
dikombinasikan dengan cara-cara khas untuk kawasan bergambut, terutama untuk
memadamkan api di bawah permukaan. Pemadaman api di bawah permukaan dengan
menyemprotkan air ke atas permukaan lahan tidaklah efektif, karena tanah gambut
mempunyai daya hantar air cacak (vertikal) yang sangat randah, tetapi daya
hantar air menyamping (lateral)-nya tinggi. Oleh karenanya pemadaman api bertipe
ini hanya dapat dilakukan dengan membuat parit yang diairi, seperti sekat bakar
diairi (KATIR) yang telah dikembangkan oleh Tim Serbu Api Universitas
Palangkaraya. Cara lainnya adalah penyemprotan air melalui lubang yang telah
digali hingga batas api di bawah permukaan, seperti yang dilakukan di Malaysia
(Musa & Parlan, 2002).
Pencegahan
merupakan salah satu komponen dari pengendalian kebakaran, yang mencakup semua
cara untuk mengurangi atau meminimumkan jumlah kejadian kebakaran. Pencegahan
dapat dilakukan dengan 3 (tiga) pendekatan, yaitu pendidikan (education),
keteknikan (engineering), penegakan hukum (law enforcement).
Pendekatan pendidikan dilakukan dengan cara pendekatan penyuluhan, kampanye,
sosialisasi, pelatihan, pendidikan lingkungan dan lain-lain pada semua lapisan
masyarakat, baik pelaksana maupun petugas lainnya. Untuk menciptakan kesiagaan
pada karyawan, melakukan pelatihan atau simulasi kesiagaan tiap tahunnya,
frekuensi pelatihan dilakukan minimal satu kali dalam setahun menjelang musim kemarau.
Pelatihan ini dilakukan minimal 8 (delapan) orang, dipimpin kepala koordinator
bidang perlindungan hutan, berdasar petunjuk teknis (juknis) yang telah
dibuat juga melakukan penyuluhan untuk
masyarakat sekitar, baik dari pintu ke pintu atau mengumpulkan masyarakat di
Balai desa untuk memberikan penyuluhan secara menyeluruh. Selain memberikan
penyuluhan juga menempelkan beberapa poster pada setiap pintu rumah masyarakat
dan juga membuat beberapa papan peringatan yang berisi ajakan-ajakan untuk mencegah
kebakaran hutan.
Upaya
teknis yang dilakukan oleh pihak unit pengelola adalah melakukan pembinaan atau
pengarahan, yaitu:
a. Pengembangan teknik pembukaan lahan tanpa
bakar, dimana mengajarkan masyarakat
bagaimana cara menyiapkan lahan tanpa membakar. Akan tetapi masyarakat masih
belum bisa melaksanakannya dengan alasan lahan yang disiapkan tanpa ada proses
pembakaran tanahnya tidak bisa digunakan untuk lahan pertanian (ladang).
b. Pembangunan sarana pencegah kebakaran seperti
menara pemantau api dan embung-embung air (penampungan air seperti danau, baik
terbuat secara alami maupun buatan)
Gambar 5. Pelatihan Satuan Pemadam
Kebakaran
V.
PENUTUP
A. Kesimpulan
a. Strategi pengendalian kebakaran yang diterapkan
Oleh Setiap Perusahaan Kehutanan mencakup kegiatan pra pemadaman, operasi
pemadaman kebakaran dan kegiatan pasca kebakaran (konsolidasi).
b. Bentuk partisipasi masyarakat berupa hukum adat
yang diterapkan pada tata cara penyiapan lahan untuk ladang.
B. Saran
a. Perlu ditingkatkannya pelatihan kebakaran untuk
pegawai maupun masyarakat, agar lebih siaga terhadap kebakaran.
b. Untuk masyarakat perlu diadakan pelatihan atau
penyuluhan tentang penyiapan lahan tanpa bakar secara intensif, agar mereka
tidak lagi membakar dalam menyiapkan lahan.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah, M.J., M.R. Ibrahim, &
A.R. Abdul Rahim. 2002. The influence of forest fire in Peninsular Malaysia:
History, root causes, prevention, and control. Makalah disajikan pada Workshop
on Prevention and Control of Fire in Peatlands, 19–21 March 2002, Kuala
Lumpur, Malaysia, 14 h.
BAPPENAS. 1998. Planning for fire
prevention and drought management project: interim report. BAPPENAS, Jakarta.
[DEPHUT]
Departemen Kehutanan, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi
Alam. 2007. Prosedur Tetap Pengendalian Kabakaran Hutan. Jakarta.
[DEPHUT]
Departemen Kehutanan, Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan. 2005. Peraturan
Pemerintah RI Nomor 45 Tahun 2005 Tentang Perlindungan Hutan. Jakarta.
Musa, S. & I. Parlan. 2002. The
1997/1998 forest fire experience in Peninsular Malaysia. Makalah disajikan pada
Workshop on Prevention and Control of Fire in Peatlands, 19–21 March
2002, Kuala Lumpur, Malaysia, 8 h.
Radjagukguk, B. 2001. Perspektif
permasalahan dan konsepsi pengelolaan lahan gambut tropika untuk pertanian
berkelanjutan. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar, UGM, Yogyakarta, 37
Tidak ada komentar:
Posting Komentar