Kamis, 02 Februari 2012

KEBAKARAN HUTAN


I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia memiliki luas hutan hujan tropika yang terluas di Asia tropis. Pada saat ini ± 64,4 juta ha di antaranya luas kawasan hutan Indonesia adalah berstatus hutan produksi (tetap dan terbatas). Menurut laporan resmi (Ministry of Forestry GOI and FAO, 1990 ; 1991), dari seluruh kawasan hutan yang ada di Indonesia, ± 108,6 juta ha di antaranya masih berhutan dan meliputi 7 tipe utama hutan dengan variasi hingga 18 tipe hutan, termasuk hutan bambu, hutan nipah, hutan sagu dan hutan savana (Akhmad, 2004). Hutan tropika Indonesia telah dikenal di dunia sebagai hutan tropika terluas nomor tiga (3) di dunia, setelah negara Brazil dan Zaire. Pada awalnya diperkirakan luas hutan tropika di Indonesia adalah ± 164 juta ha, kemudian berkurang menjadi ± 143 juta ha dan pada tahun 1999 diperkirakan tinggal ± 90-120 juta ha. Apabila luas daratan Indonesia diperkirakan ± 190 juta ha, maka luas hutan di Indonesia tinggal ± 48-64% dari daratan (Suratmo et al. 2003).
Diantara pemicu hilangnya hutan tropika Indonesia adalah peristiwa kebakaran hutan. Dalam sejarah kebakaran hutan di Indonesia, kebakaran hutan yang terbesar terjadi pada tahun 1997/1998 yang mencapai luasan ± 9,7 juta ha, lahan dengan luasan areal terbakar tersebar di beberapa pulau seperti : Sumatera ± 1,7 juta ha, Kalimantan ± 6,5 juta ha, Jawa ± 0,1 juta ha, Sulawesi ± 0,4 juta ha dan Irian Jaya ± 1 juta ha. Dengan pembagian menurut tipe hutan yang terbakar adalah hutan pegunungan ± 0,1 juta ha, hutan dataran rendah ± 3,3 juta ha, gambut ± 1,5 juta ha, lahan pertanian dan alang-alang terbuka ± 4,5 juta ha, HTI dan perkebunan ± 0,3 juta ha. Dengan jumlah kerugian mencapai Rp 9,5 Trilyun (EEPSEA and WWF 1998).
Penyebab kebakaran hutan dan lahan didefinisikan sebagai sesuatu yang bersifat alami maupun perbuatan manusia yang menyebabkan terjadinya proses penyalaan serta pembakaran bahan bakar hutan dan lahan. Dilihat dari faktor penyebab kebakaran hutan dan lahan di Indonesia, faktor alam tampaknya hanya memegang peranan kecil, sedangkan faktor manusia menyebabkan hampir 100% dari kejadian kebakaran hutan dan lahan, baik sengaja maaupun tidak disengaja, contohnya api digunakan dalam pembukaan lahan untuk pertanian.
Kebakaran hutan dan lahan pada tahun 1997/1998 merupakan malapetaka yang sangat hebat, sampai pemerintah Indonesia menyatakan sebagai Bencana Nasional. Kebakaran hutan dan lahan saat ini telah menjadi salah satu bentuk gangguan terhadap pengelolaan hutan dan lahan. Akibat negatif yang ditimbulkan cukup besar misalnya kerusakan ekologis, menurunnya estetika, merosotnya nilai ekonomi hutan dan produktifitas tanah, perubahan iklim mikro maupun global, menurunkan keanekaragaman sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya yang merupakan sumber plasma nutfah yang tak ternilai. Kebakaran hutan merupakan masalah yang krusial dan perlu penanganan yang sungguh-sungguh, karena kebakaran ini disamping menyebabkan terjadinya gangguan lingkungan hidup dari asap yang timbul juga berakibat hilangnya potensi hutan dan penurunan keanekaragaman hayati. Oleh sebab itu perlu dilakukan suatu strategi pengendalian kebakaran hutan yang efektif dan efisien.
Kegiatan pengendalian kebakaran hutan merupakan semua aktivitas untuk melindungi hutan dari kebakaran liar. Aktivitas tersebut mencakup kegiatan pencegahan, pra-pemadaman dan pemadaman kebakaran hutan. Kegiatan ini dilakukan pada areal yang berpotensi terbakar seperti areal IUPHHK – HA (HPH), IUPHHK – HT (HTI), Taman Nasional dan lahan Perkebunan
B. Tujuan
Tujuan dari Makalah Kebakaran Hutan  ini adalah untuk mempelajari, mendeskripsikan, dan menganalisis :
a. Strategi pengendalian kebakaran hutan yang diterapkan di IUPHHK – HA
b. Partisipasi masyarakat sekitar IUPHHK – HA dalam strategi pengendalian kebakaran hutan.
C. Manfaat
Makalah ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang positif bagi berbagai pihak yang berminat maupun terkait dengan usaha pengendalian kebakaran hutan, khususnya kepada :
a. Kalangan manajemen/pengelola IUPHHK – HA dapat merencanakan dan mengevaluasi strategi pengendalian kebakaran hutan yang lebih baik.
b. Kalangan akademisi dapat menambah literatur dalam mengkaji strategi pengendalian kebakaran hutan di IUPHHK – HA.
c. Kalangan non-akademisi yaitu masyarakat, swasta dan pemerintah yang bergerak di sektor kehutanan untuk menerapkan strategi pengendalian kebakaran hutan yang efektif dan efisien sehingga kebakaran hutan dapat dicegah dan ditanggulangi.


II. TINJAUAN PUSTAKA
A. KEBAKARAN HUTAN
1.  Definisi Kebakaran Hutan
Kebakaran Hutan adalah peristiwa pembakaran yang penjalarannya bebas serta mengkonsumsi bahan bakar alam dari hutan. Bahan bakar yang berada di dalam hutan itu sendiri sangat beragam dan tersebar dari lantai hutan hingga pucuk pohon dan lapisan tajuk hutan, yang kesemuanya merupakan bagian dari biomassa hutan. Bahan bakar yang berada di dalam hutan dapat berupa serasah, rumput, ranting/cabang, pohon mati yang tetap berdiri, batang pohon (logs), tunggak pohon, gulma, semak belukar, dedaunan dan pohon-pohon (Suratmo et al, 2003). Secara garis besar kebakaran hutan ada 2 macam, yaitu :
a. Kebakaran Liar (Wildfire)
Setiap kebakaran yang terjadi di lahan yang tidak direncanakan/ dikendalikan. Dalam hal ini api merupakan musuh yang harus dilawan, karena merusak dan sangat merugikan serta relatif sulit untuk dikendalikan.
b. Pembakaran Terkendali (Controlled Burning)
Pembakaran yang dikendalikan di bawah kondisi cuaca tertentu, yang membuat api dapat diarahkan pada keadaan tertentu dan pada saat yang sama menghasilkan intensitas panas dan laju penjalaran yang sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Dalam hal ini api merupakan alat yang dapat digunakan untuk tujuan-tujuan positif dan tidak merugikan.
2. Prinsip Segitiga Api
Api merupakan fenomena fisik alam yang dihasilkan dari kombinasi yang cepat antara oksigen dengan suatu bahan bakar yang terjelma dalam bentuk panas, cahaya dan nyala. Tiga komponen diperlukan untuk setiap api agar dapat menyala dan mengalami proses pembakaran (Countryman, 1975).
Pertama harus tersedia bahan bakar yang dapat terbakar. Lalu, panas yang cukup digunakan untuk menaikkan temperatur bahan bakar hingga ke titik penyalaan. Dan akhirnya harus terdapat pula cukup udara untuk mensuplai oksigen yang diperlukan dalam menjaga proses pembakaran agar tetap berjalan dan untuk mempertahankan suplai panas yang cukup sehingga memungkinkan terjadinya penyalaan bahan bakar yang sulit terbakar. Ketiga unsur tersebut yaitu bahan bakar, panas dan oksigen yang memungkinkan timbulnya api, disebut dengan segitiga api (Fire Triangle).


 







Gambar 1. Prinsip segitiga api (Chandler et al, 1983).
Api hanya dapat terjadi bila ketiga komponen di atas berada pada saat yang bersamaan atau tidak akan ada api sama sekali. Untuk itu maka prinsip dasar dalam usaha pengendalian terjadinya kebakaran hutan dilakukan dengan cara memutuskan salah satu dari ketiga komponen tersebut. Dan yang umum dilakukan adalah dengan cara mengurangi peran komponen bahan bakar dan panas yang dapat dilakukan dengan berbagai macam teknik.
3. Tipe Kebakaran Hutan
Salah satu hal yang paling penting dalam kegiatan pemadaman kebakaran hutan adalah dengan mengenal/mengetahui secara pasti tipe kebakaran hutan yang terjadi, sebab tanpa mengetahuinya secara pasti, teknik dan metode pemadaman yang diterapkan akan fatal. Kegiatan pemadaman pada kebakaran hutan di bawah permukaan (gambut) akan tidak sama dengan pemadaman kebakaran di padang alang-alang atau pada kebakaran tajuk. Karena hal ini berdampak pada tingkat kerugian yang akan diderita (dalam hal ini luasan areal yang terbakar bisa makin luas) dan juga dampak negatif terhadap pemadaman itu sendiri. Dengan diketahuinya secara pasti tipe kebakaran yang terjadi, maka lebih banyak areal yang bisa diselamatkan dan dampak negatif terhadap lingkungan bisa dikurangi, sehingga kebakaran hutan yang terjadi tidak berlarut-larut.
Menurut Brown dan Davis (1973) diacu dalam Suratmo et al. (2003), kebakaran hutan dapat digolongkan ke dalam tiga tipe, yaitu :
a.  Kebakaran Bawah (Ground Fire)
Tipe kebakaran bawah ini biasanya mengkonsumsi bahan bakar bawah berupa material organik yang terdapat di bawah permukaan tanah/ lantai hutan  (Ground fuels). Yang paling klasik adalah kebakaran di hutan gambut. Kebakaran bawah ini sangat sukar dideteksi dan berjalan lambat sekali karena tidak dipengaruhi oleh kecepatan angin. Tanda bahwa areal tersebut terbakar adalah adanya asap putih yang keluar dari bawah permukaan tanah. Kebakaran dengan tipe ini pada kebakaran tahun 1997/1998 yang lalu terjadi di lahan gambut yang terdapat di Provinsi Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat dan beberapa daerah lainnya. Karena berada dibawah permukaan tanah, maka banyak pohon mati karena akarnya hangus terbakar. Kebakaran ini biasanya berkombinasi dengan kebakaran permukaan.
b. Kebakaran Permukaan (Surface Fire)
Kebakaran permukaan ini mengkonsumsi bahan bakar yang terdapat di lantai atau permukaan hutan baik berupa serasah, jatuhan ranting, batang pohon yang bergelimpangan di lantai hutan, tumbuhan bawah, dan sebagainya yang berada di bawah tajuk pohon dan di atas permukaan tanah (Surface fuels). Kebakaran tipe ini adalah yang paling sering terjadi di dalam tegakan, hutan sekunder dan hutan alam, terkecuali di daerah rawa gambut dimana yang dominan adalah kebakaran bawah. Kebakaran permukaan ini biasanya merupakan langkah awal menuju kebakaran tajuk, dengan cara terbakarnya tanaman pemanjat yang menghubungkan sampai ke tajuk pohon atau akibat api loncat yang mencapai tajuk pohon.
c. Kebakaran Tajuk (Crown Fire)
Kebakaran tajuk biasanya bergerak dari satu tajuk pohon ke tajuk pohon lainnya dengan cara mengkonsumsi bahan bakar yang terdapat di tajuk pohon tersebut baik berupa daun, cangkang biji, ranting bagian atas pohon, tajuk pohon (Aerial fuels). Seperti diuraikan diatas, kebakaran tajuk ini biasanya bermula dari adanya api lompat yang berasal dari tajuk tumbuhan bawah/ semak yang terbakar atau karena adanya tumbuhan epifit/liana sepanjang batang pohon yang terbakar, kulit pohon yang berminyak atau karena pemanasan dari permukaan. Kebakaran ini banyak meminta korban para pemadam kebakaran karena tertimpa oleh ranting-ranting besar yang hangus terbakar di makan api ketika melakukan pemadaman, selain itu banyak juga yang terjebak karena terkepung api.
4. Dampak Kebakaran Hutan
a. Dampak Kebakaran Hutan yang Menguntungkan
Api telah digunakan oleh manusia sejak ribuan tahun silam. Pada saat itu manusia menganggap api sebagai alat bantu yang sangat bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari. Disamping sebagai cara untuk membersihkan lahan secara murah dan cepat juga dapat membantu menyuburkan lahan perladangan mereka.
Dengan demikian, tidak selamanya kebakaran hutan berdampak merugikan bagi lingkungan. Tetapi, perlu kajian lebih lanjut sampai sejauh mana dampak menguntungkan kebakaran hutan dapat dirasakan dan seberapa besar jika dibandingkan dengan dampaknya yang merugikan. Disinilah perlunya dituntut sikap bijak dalam mengkaji dan menilai kerusakan akibat kebakaran hutan (Syaufina, 2002). Pengaruh kebakaran hutan yang menguntungkan berupa :
1) Mengurangi potensi bahan bakar.
Di beberapa negara maju, pembakaran terkendali dilakukan secara periodic untuk mengurangi potensi bahan bakar sehingga dapat menghindarkan kebakaran yang lebih besar.
2) Memperbaiki keadaan habitat dan menyediakan sumber makanan yang baik bagi satwa.
3) Memusnahkan hama dan penyakit.
Apabila serangan hama dan penyakit sudah tidak terkendali.
4) Abu hasil proses pembakaran akan meningkatkan pH tanah hutan yang pada umumnya bersifat masam.
5) Membantu pertunasan yang dibantu oleh api.
Adanya api akan menstimulasi bakal tunas yang dorman untuk tumbuh. Pertumbuhan tunas setelah kebakaran biasanya berhubungan dengan umur tanaman, ukuran batang, musim, frekuensi kebakaran dan kekerasan kebakaran.
6) Membantu penyebaran oleh api.
Jenis-jenis Pinus umumnya menyimpan bijinya dengan mekanisme tertentu di dalam kerucut yang terbalut dengan bahan resin yang sensitif terhadap api sehingga sulit untuk diambil. Dengan adanya api, buah pinus akan membuka dan mengeluarkan bijinya.
7) Membantu perkecambahan biji yang dibantu oleh api.
Perkecambahan biji yang tersimpan di dalam tanah dapat distimulasi oleh danya panas dari api.
b. Dampak Kebakaran Hutan yang Merugikan
Tidak diragukan lagi bahwa kebakaran memberikan dampak yang merugikan bagi lingkungan. Hal ini nyata terlihat dan dirasakan pada saat kebakaran hutan yang besar terjadi pada tahun 1997/1998, dimana hampir semua media massa memberitakan permasalahan lingkungan yang timbul akibat kebakaran tersebut. Untuk itu akibat kebakaran hutan dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu dampak ekologis, dampak ekonomis dan sosial.
1) Dampak ekologis
a) Terhadap vegetasi
Kebakaran hutan mengganggu suksesi secara alami dan evolusi ekosistem hutan. Kebakaran menyebabkan perubahan pola vegetasi sesuai dengan pola kebakaran yang terjadi sehingga akan membentuk pola mosaik yang terdiri dari berbagai fase suksesi. Hutan yang terbakar menjadi terbuka sehingga merangsang pertumbuhan gulma dan berbagai spesies eksotik, yang menyebabkan terganggunya keseimbangan ekologi antar spesies baik flora maupun fauna.
b) Terhadap tanah
Kebakaran akan memberikan dampak kepada sifat fisik, kimia dan biologi tanah dengan tahapan yang berbeda tergantung kepada beberapa faktor, seperti : karakteristik tanah, intensitas dan lamanya kebakaran, waktu dan intensitas hujan setelah terjadinya kebakaran serta sifat bahan bakar. Sebagai suatu proses fisika kebakaran akan mempengaruhi suhu tanah, struktur tanah dan kemampuan tanah untuk menyerap dan menyimpan air. Pada suatu kebakaran yang besar, suhu permukaan tanah dapat mencapai 200˚C (Brown and Davis, 1973) dan akan menaikkan suhu pada berbagai lapisan tanah. Bulk density akan meningkat yang selanjutnya akan menurunkan porositas dan laju infiltrasi dari tanah. Sebagai akibatnya, aliran permukaan akan meningkat, sehingga tanah menjadi peka terhadap faktor-faktor yang meningkatkan erosi dan banjir.
Terhadap kimia tanah, kebakaran akan merubah sifat-sifat kimia tanah melalui tiga cara, yaitu:
1. Mineral yang dilepaskan dari proses pembakaran yang tertinggal dalam abu.
2. Perubahan mikroklimat setelah kebakaran.
3. Dekomposisi mineral liat dan penyederhanaan struktur organik menjadi bahan anorganik (Brown and Davis, 1973 dan Chandler et al, 1983).
Sumbangan nutrisi tanah akibat kebakaran tidak berlangsung lama dan terbatas. Bila kebakaran terjadi secara berulang-ulang, maka degradasi lahan akan meningkat dan proses pemiskinan unsur hara tanah akan berlangsung.
Kebakaran hutan juga dapat menyebabkan perubahan populasi organisme dan mikro organisme tanah yang bermanfaat bagi lingkungan. Perubahan kelimpahan, frekuensi dan jumlah jenis akan terjadi akibat dari kematian organisme dan mikro organisme tanah tersebut.
c) Terhadap air
Dampak kebakaran hutan terhadap air dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan, yaitu kuantitas dan kualitas air.
-       Terhadap kuantitas air, kebakaran hutan akan menghilangkan atau mengurangi vegetasi penutup tanah yang selama ini memegang peranan penting dalam siklus hidrologi.
Proses peredaran air dalam siklus hidrologi hutan akan terganggu. Transpirasi dan intersepsi dari vegetasi akan hilang atau berkurang. Sejalan dengan itu, proses infiltrasi akan berkurang dengan adanya pemadatan tanah. Sementara itu, aliran permukaan dan aliran bawah permukaan akan meningkat. Akibatnya, erosi dan banjir akan dialami oleh bagian hilir.
-       Terhadap kualitas air, kebakaran hutan terutama berkaitan dengan endapan yang terbawa oleh aliran permukaan. Dalam hal ini, kekeruhan akan meningkat dan oksigen terlarut akan berkurang sehingga akan mengganggu kehidupan ekosistem perairan. Hal ini akan diperburuk dengan adanya unsur-unsur yang berbahaya, tercuci dan terbawa ke perairan terbuka sehingga menyebabkan kematian bagi organisma yang hidup di perairan. Terlepas dari semua ini, tentu saja berdampak luas terhadap kehidupan masyarakat sekitar.
d) Terhadap udara
Proses pembakaran bahan bakar hutan menghasilkan panas serta senyawa lainnya seperti karbon monoksida, karbon dioksida, beberapa jenis hidrokarbon, uap air dan unsur-unsur lainnya dalam bentuk gas, cair atau padatan (partikel). Hasil dari pembakaran tersebut dapat menjadi polutan yang sangat berbahaya bagi kehidupan manusia.
2) Dampak ekonomis
Secara langsung maupun tidak langsung, kebakaran hutan dan lahan yang terjadi pada tahun 1997/1998 mempengaruhi sektor ekonomi nasional. Dampak langsung berupa kerugian ekonomi seperti : hilangnya hasil hutan (kayu dan non kayu), kerugian yang ditanggung oleh sektor perkebunan, hilangnya keanekaragaman hayati dan lain-lain. Sedangkan dampak tidak langsung adalah dampak yang diakibatkan oleh asap, seperti dampak pada kesehatan, kehilangan hari kerja, kehilangan fungsi ekologi, kerugian yang ditanggung oleh sektor pariwisata dan perhubungan. Kerugian yang diderita akibat kebakaran yang terjadi pada tahun 1997/1998 yang lalu adalah Rp 9,5 Trilyun sementara menurut perhitungan resmi pemerintah kerugian secara ekonomi adalah Rp 3,64 Trilyun. Adanya perbedaan ini berasal dari hilangnya pendapatan yang seharusnya dapat dipergunakan untuk hal-hal lain yang bermanfaat bagi Indonesia, terutama bagi pembangunan nasional (EEPSEA and WWF, 1998). Dampak ekonomi yang bisa dihitung adalah kerugian langsung yang diderita oleh sektor perkebunan, kehutanan, kesehatan, transportasi, pariwisata dan biaya langsung yang dikeluarkan untuk penanggulangan dan pemadaman.
Karena kerugian ekologi tidak seluruhnya bisa dihitung menjadi nilai rupiah, maka kerugian ekologi yang dimungkinkan untuk dihitung yaitu kerugian ekologi yang masuk saja.
3) Dampak sosial
Tidak banyak proyek analisis kebakaran hutan yang dilakukan di Indonesia menyinggung maupun mengungkapkan dampak kebakaran pada masyarakat lokal dan mata pencaharian mereka. Berbagai studi lebih difokuskan pada kerugian tingkat makro seperti kerugian sektor transportasi dan industri kehutanan. Semua sektor itu dinilai lebih banyak pengaruhnya pada politik dan ekonomi dibandingkan petani miskin.
Selain itu terdapat kerusakan tidak ternilai (inmaterial). Kerusakan tidak ternilai adalah kerusakan yang terjadi namun sangat sulit untuk dikuantifikasikan, sehingga dinyatakan dalam bentuk kualitatif saja.
Kerusakan inmaterial yang dimaksud adalah adanya pernyataan Negara sebagai negara pencemar akibat asap yang ditimbulkan dari pembakaran serta adanya ancaman boikot terhadap produk yang dihasilkan dari areal penyiapan dengan menggunakan api.
5. Faktor Penyebab Kebakaran Hutan
Secara garis besar penyebab kebakaran hutan adalah berasal dari kejadian alam dan kegiatan manusia. Di Indonesia kejadian alam yang menyebabkan terjadinya kebakaran hutan jarang terjadi. Kebakaran hutan oleh faktor manusia kasusnya akan menjadi lebih kompleks. Dalam hal ini faktor sosial ekonomi dan ketidaktahuan penduduk merupakan pendorong utama atas terjadinya kebakaran hutan (Mangandar, 2000).
Hasil Penelitian ICRAF/CIFOR di 6 provinsi di Indonesia beberapa contohnya Sumatera dan Kalimantan menunjukkan bahwa penyebab kebakaran hutan dan lahan terjadi secara langsung dan tidak langsung.
Penyebab langsung kebakaran hutan dan lahan pada umumnya yaitu (Suyanto, 2002) :
a. Api digunakan dalam pembukaan lahan.
b. Api menyebar sebagai senjata dalam permasalahan konflik tanah.
c. Api menjalar secara tidak sengaja.
d. Api yang disertai dengan ekstraksi sumberdaya alam.
Strategi pembangunan wilayah yang lebih menekankan pada usaha skala besar secara nyata berpengaruh terhadap terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Api digunakan dalam persiapan lahan baik oleh pengusaha perkebunan dan juga digunakan dalam pembangunan pemukiman transmigrasi. Disamping itu petani juga menggunakan api untuk persiapan lahan untuk membuat perkebunan. Pembakaran hutan dan lahan secara sengaja juga merupakan penyebab kebakaran yang utama di daerah yang kaya akan sumber daya alam, dimana terdapat masalah keterbatasan lahan untuk produksi pertanian dan atau terdapat masalah konflik pengusahaan lahan atau akses ke lahan.
Walaupun bukan sebagai faktor utama, api yang digunakan dalam kegiatan untuk mempermudah akses dalam mengekstraksi sumberdaya alam seperti pengambilan ikan, berburu dan mengumpulkan madu.
Adapun penyebab tidak langsung kebakaran hutan dan lahan yaitu :
a. Penguasaan Lahan
Masalah ini merupakan masalah utama yang kerap terjadi hampir di seluruh lokasi hutan dan perkebunan, karena adanya masalah yang paling utama yang berkembang pada masyarakat tentang lemahnya keintensifan untuk mengontrol api supaya tidak menyebar ke lahan milik perkebunan atau hutan yang mana mereka merasa bukan tanggung jawabnya untuk melakukan hal itu. Hal tersebut juga ditimbulkan karena adanya konflik penguasaan lahan antara masyarakat lokal, pendatang, pengusaha maupun pemerintah. Masalah lainnya yaitu lemahnya sistem hukum yang mengatur masalah klaim lahan oleh masyarakat dan hak-hak tradisional atas lahan.
b. Alokasi Penggunaan Lahan
Kebijakan alokasi penggunaan lahan lain yang tidak tepat, tidak adil dan tidak terkoordinasi menyebabkan masalah dimana api digunakan untuk mengusir masyarakat yang sudah terlebih dahulu mengolah lahan tersebut atau digunakan oleh masyarakat untuk memperoleh kembali lahan-lahan mereka.
c. Insentif / Dis-intensif Ekonomi
Keuntungan finansial dari konversi hutan (umumnya yang sudah pernah diusahakan/ditebang) menjadi penggunaan lahan lainnya merupakan faktor utama konversi hutan menjadi non-hutan.
d. Degradasi Hutan dan Lahan
Beberapa faktor yang mempengaruhi degradasi hutan dan lahan seperti kegiatan penebangan/pembalakan liar, sistem drainase pada areal rawa, dan kegiatan pengelolaan lahan yang berkelanjutan. Rehabilitasi areal hutan dan lahan yang terdegradasi sangat penting untuk mengurangi masalah kebakaran.
e. Dampak dari Perubahan Karakteristik Kependudukan
Peningkatan jumlah penduduk oleh tingginya tingkat migrasi dalam skala besar baik secara spontan maupun melalui program transmigrasi berpengaruh  terhadap pembukaan hutan dan lahan dimana api digunakan sebagai teknik dalam persiapan lahan.
f. Lemahnya Kapasitas Kelembagaan
Lemahnya kelembagaan dalam hal pengelolaan hutan mengakibatkan tingginya pengalihan fungsi hutan dan non hutan. Disamping itu, tidak jelasnya
masalah status lahan atau hak terhadap lahan mengakibatkan lemahnya intensitas
masyarakat untuk menjaga hutan dari bahaya kebakaran.
B. STRATEGI PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN
Chandler (1962) diacu dalam Pramono (2006) menyebutkan strategi merupakan alat untuk mencapai tujuan perusahaan/lembaga dalam kaitannya dengan tujuan jangka panjang, program tindak lanjut serta prioritas alokasi sumberdaya. Strategi merupakan tindakan yang bersifat incremental (senantiasa meningkat), terus menerus dan dilakukan berdasarkan sudut pandang tentang apa yang diharapkan oleh masyarakat yang akan datang. Dengan demikian perencanaan strategi hampir selalu dimulai dari apa yang dapat terjadi, bukan dimulai dari apa yang terjadi.
Menurut Suratmo et al. (2003) strategi pengendalian kebakaran hutan adalah semua aktivitas untuk melindungi hutan dari kebakaran liar.
Aktivitas pengendalian kebakaran hutan mencakup 3 komponen kegiatan, yaitu:
1. Pencegahan kebakaran hutan.
2. Pra-pemadaman kebakaran hutan.
3. Pemadaman kebakaran hutan.
1. Pencegahan Kebakaran Hutan
Pencegahan kebakaran merupakan salah satu komponen pengendalian kebakaran hutan, yang mencakup semua cara untuk mengurangi atau meminimumkan jumlah kejadian kebakaran liar. Pencegahan kebakaran bukan bertujuan untuk menghilangkan semua kejadian kebakaran liar. Menghilangkan semua kejadian kebakaran merupakan pekerjaan yang sangat sulit dan tidak mungkin dapat dilakukan. Banyak kejadian kebakaran yang sumber apinya tidak diketahui atau berasal dari sumber yang berada di luar jangkauan kemampuan pengendalian suatu organisasi pengendalian kebakaran hutan.
Pencegahan kebakaran hutan dapat dipandang sebagai kegiatan yang tak terpisah dari pengendalian kebakaran, namun keberhasilannya hendaknya dievaluasi dalam konteks keberhasilan atau kegagalan pengendalian kebakaran secara keseluruhan. Pencegahan dan pemadaman merupakan kegiatan yang komplementer, bukan kegiatan substitusi. Masing-masing kegiatan tidak ada yang lengkap dan sempurna, keduanya harus dijembatani oleh kegiatan manajemen bahan bakar dan pra-pemadaman.
Pencegahan kebakaran merupakan kegiatan yang terpenting dalam pengendalian kebakaran dan merupakan pekerjaan yang harus dilakukan secara terus menerus. Seringkali pencegahan kebakaran merupakan cara yang lebih ekonomis untuk mengurangi kerusakan dan kerugian yang ditimbulkan oleh kebakaran, tanpa harus menggunakan peralatan yang mahal.
a. Perencanaan Pencegahan Kebakaran Hutan
Agar dapat dilaksanakan secara efektif, pencegahan kebakaran akan memerlukan :
1) Organisasi pelaksana yang memadai.
2) Pengetahuan tentang kebakaran dan penyebab terjadinya.
3) Petugas yang terlatih untuk melaksanakan kegiatan pencegahan.
4) Rencana pencegahan yang telah disiapkan sebelumnya.
5) Biaya yang diperlukan untuk pencegahan.
Rencana pencegahan kebakaran diperlukan agar operasi pencegahan dapat dilaksanakan dengan efektif. Dalam buku rencana pencegahan kebakaran perlu dicantumkan peta-peta, label dan grafik sesuai dengan keperluan kegiatan. Rencana ini selalu diperbaharui, paling sedikit sekali setahun.
Langkah pertama dalam penyusunan rencana pencegahan adalah memepelajari sejarah kebakaran hutan, mencakup :
1) Sebab-sebab terjadinya kebakaran.
2) Waktu terjadinya kebakaran (bulan, tanggal dan jam kejadian).
3) Waktu yang paling sering terjadi kebakaran (cuaca, bahan bakar, waktu).
4) Banyaknya kebakaran, digolongkan menurut penyebabnya.
5) Tempat terjadinya kebakaran (peta lokasi, tipe hutan).
Data sejarah tersebut akan menentukan sasaran (goals) dari rencana pencegahan kebakaran. Berdasarkan data sejarah tersebut, disusun rencana pencegahan kawasan hutan yang bersangkutan. Rencana pencegahan kebakaran dapat berbeda untuk setiap daerah, karena bahan bakar, sumber api, kondisi iklim, topografi dan lain-lainnya berbeda. Sebagai pegangan umum rencana tersebut dapat disusun dengan mengikuti sebagai berikut :
1) Dasar rencana pencegahan.
a) Peta kejadian kebakaran.
b) Statistik kebakaran (dalam bentuk grafik).
c) Peta resiko kebakaran/peta sumber api.
d) Peta kegiatan/operasi kehutanan.
e) Peta bahan bakar yang mudah terbakar.
f) Peta tanda dan peringatan bahaya kebakaran.
2) Tujuan pencegahan kebakaran.
3) Ringkasan permasalahan dan tindakan yang harus dilakukan.
4) Sumberdaya untuk operasi pencegahan kebakaran.
a) Penggunaan petugas, meliputi: rimbawan, polisi dan lain-lain.
b) Kerja sama dengan pimpinan desa/kampung.
c) Pembiayaan.
5) Undang-undang, peraturan dan ketentuan tentang kebakaran hutan.
6) Pendidikan umum, media massa, pedoman bagi wisatawan, pemburu, pekemah dan lain-lain.
7) Pengurangan bahan bakar di daerah yang berisiko tinggi terbakar.
8) Tanda, poster, papan peringatan, dan bahan-bahan informasi lainnya.
b. Metode Pencegahan Kebakaran Hutan
Metode pencegahan kebakaran hutan sering dilakukan dengan menggunakan metode 3E yaitu: Education (Pendekatan Pendidikan), Law Enforcement (Pendekatan Hukum) dan Engineering (Pendekatan Teknis).
1) Pendekatan Pendidikan
Pendidikan/penyuluhan tentang kebakaran, khususnya tentang akibat atau kerugian yang ditimbulkannya, sumber api kebakaran dan cara-cara pencegahannya, ditujukan kepada masyarakat umum, khususnya masyarakat sekitar hutan.
Karena pendidikan/penyuluhan ini bertujuan untuk mengubah sikap masyarakat, maka pendidikan/penyuluhan ini perlu dilaksanakan secara terusmenerus. Materi dan metode yang diterapkan perlu disesuaikan dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat (pengetahuan, minat, sikap, pendapat, kepercayaan). Pendidikan/penyuluhan dapat dilaksanakan secara perorangan, kelompok dan massal.
Pendekatan pendidikan/penyuluhan dapat dilakukan melalui, pendidikan/penyuluhan perorangan, perkumpulan dan kelompok masyarakat, media massa, pendidikan di sekolah, pemasangan papan peringatan, poster, kampanye pencegahan kebakaran.
2) Pendekatan Hukum (Undang-undang dan Peraturan)
Dasar hukum untuk pencegahan kebakaran hutan bersumber dari undang-undang, surat keputusan dan peraturan daerah setempat, tentang kebakaran hutan. Undang-undang, peraturan pemerintah pusat dan daerah tentang penggunaan api sangat penting bagi pencegahan kebakaran hutan. Undang-undang dan peraturan haruslah adil dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Menghukum mereka yang menimbulkan kebakaran hutan merupakan suatu cara yang baik untuk pencegahan kebakaran hutan. Dalam hal ini diperlukan kerjasama dengan kepolisian dan kejaksaan.
3) Pendekatan Teknis
Manajemen bahan bakar adalah tindakan atau praktek yang ditujukan untuk mengurangi kemudahan bahan bakar untuk terbakar (fuel flammability) dan mengurangi kesulitan dalam pemadaman kebakaran hutan. Manajemen bahan bakar mempunyai tujuan yang bermacam-macam, yaitu :
a) Untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan.
b) Untuk memperlambat penjalaran api kebakaran hutan.
c) Untuk mengurangi lama waktu terjadinya kebakaran.
d) Untuk mengurangi banyaknya asap yang timbul.
e) Untuk menciptakan lingkungan yang tidak terlalu panas pada saat operasi pemadaman kebakaran.
f)  Untuk mempermudah operasi pemadaman kebakaran.



Manajemen bahan bakar dapat dilakukan dengan 3 cara utama yaitu :
a) Modifikasi bahan bakar
Usaha untuk merubah satu atau beberapa macam karakteristik bahan bakar. Tujuannya adalah agar bahan bakar tidak mudah terbakar atau kalau terjadi kebakaran penjalaran apinya lambat, sehingga mudah dipadamkan. Seperti memotong-motong dahan dan ranting pohon yang berupa limbah penebangan menjadi potongan yang lebih kecil, sehingga bahan bakar tersebut lebih cepat terdekomposisi, serta menebas tumbuhan bawah di lantai hutan secara periodik.
b) Pengurangan bahan bakar
Dengan tujuan agar bahan bakar hutan berkurang jumlahnya, sehingga bila terjadi kebakaran hutan, besarnya nyala api, kecepatan penjalaran dan lamanya kebakaran dapat dikurangi. Seperti memanfaatkan kayu limbah penebangan untuk berbagai keperluan serta mempercepat proses dekomposisi serasah dengan menggunakan organisme perombak serasah.
c) Isolasi bahan bakar
Adalah kegiatan memisahkan suatu kawasan hutan (sebagai suatu hamparan bahan bakar) dari kawasan di luarnya (sebagai hamparan bahan bakar lain) dan atau membagi kawasan hutan tersebut menjadi bagian-bagian kawasan hutan (bagian hamparan bahan bakar) yang lebih kecil, oleh suatu penyekat yang disebut jalur isolasi.
Tujuan utama isolasi bahan bakar adalah untuk menghambat penjalaran api kebakaran dari luar kawasan hutan ke dalam kawasan hutan dan sebaliknya. Jalur isolasi terdiri dari jalur isolasi alami dan jalur buatan.
Jalur isolasi alami misalnya adalah alur sungai dan sempadan sungai. Jalur isolasi buatan terdiri dari jalur yang sudah ada, yang dirancang dengan tujuan bukan sebagai jalur isolasi tetapi dapat didayagunakan sebagai jalur isolasi (jalan setapak, jalan umum) dan jalur isolasi khusus yang sengaja dibuat. Ada 3 macam jalur isolasi khusus yang dapat dibuat, yaitu :
1. Sekat bakar (fire break)
Suatu sekat baik alami maupun buatan dalam suatu hamparan bahan bakar yang digunakan untuk memisahkan, menghentikan dan mengendalikan penjalaran api atau untuk menyediakan garis pengendali untuk memulai pemadaman kebakaran.


2. Sekat bahan bakar (fuel break)
Suatu jalur yang dibuat agar vegetasi yang ada dimodifikasi sehingga kebakaran akan lebih mudah terkendali, biasanya lebar jalur sekitar 20 sampai 300 meter. Sekat bahan bakar ini biasanya tertutup vegetasi yang mempunyai volume bahan bakar rendah atau sulit terbakar. Vegetasi yang banyak digunakan adalah rumput pendek atau tumbuhan pendek lainnya.
3. Jalur hijau (green belt)
Merupakan suatu jalur yang ditanami dengan tanaman yang relatif tahan kebakaran yang dipelihara dan difungsikan sebagai fire break. Jenis-jenis pohon/perdu yang cocok untuk jalur hijau adalah kaliandra bunga merah (Caliandra callothyrsus) dan seuseureuhan (Piper aduncum).
2. Pra-Pemadaman Kebakaran Hutan
Pra-pemadaman kebakaran mencakup semua kegiatan yang dilaksanakan sebelum terjadi kebakaran, agar bila terjadi kebakaran dapat dipadamkan secara efektif dan aman. Jadi pra-pemadaman ini merupakan kegiatan persiapan, atau kesiapsiagaan yang dilakukan setiap tahun menjelang musim kebakaran atau musim kemarau, oleh setiap organisasi yang bergerak di bidang pengelolaan hutan. Tanpa ada kegiatan pra-pemadaman maka kegiatan pemadaman kebakaran akan menjadi tidak terorganisir dengan baik.
Pra-pemadaman terdiri dari berbagai kegiatan yaitu :
a. Deteksi Kebakaran Hutan
Merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mengetahui adanya kebakaran dan lokasinya. Deteksi kebakaran merupakan bagian yang sangat penting dalam pemadaman kebakaran hutan. Tanpa mengetahui lokasinya, kebakaran tersebut tidak bisa dipadamkan. Kemampuan organisasi untuk dapat menemukan lokasi kebakaran dengan segera dan cepat, merupakan dasar dari pemadaman yang efektif.
Metode deteksi dapat berupa patroli darat, deteksi darat yang permanen melalui pos pengawasan (look out towers), patroli udara, remote sensing serta laporan dari masyarakat.
b. Komunikasi
Komunikasi sangat penting dalam pemadaman kebakaran hutan. Salah satu penentu keberhasilan pemadaman kebakaran hutan adalah tersedianya alat komunikasi. Tersedianya alat komunikasi yang memadai dan terpercaya akan berarti berkurangnya kerugian, karena dengan komunikasi yang baik, semua aktivitas akan berjalan cepat dan efektif. Komunikasi yang efektif dapat memberikan hasil akhir yang baik pada kebanyakan operasi pemadaman kebakaran.
c. Penyiapan Organisasi Pemadaman Kebakaran
Pemadaman kebakaran hutan merupakan kegiatan darurat (emergency). Untuk mencapai keberhasilan tugas-tugas dalam pemadaman kebakaran hutan, diperlukan penyiapan organisasi yang baik.
d. Pelatihan Petugas
Pelatihan petugas pemadaman kebakaran merupakan bagian yang sangat penting dalam kegiatan pra-pemadaman. Fasilitas dan peralatan terbaik yang dapat disediakan tidak akan efektif bila petugas-petugas yang menggunakannya tidak terlatih dalam penggunaan peralatan tersebut. Pelatihan keterampilan juga diperlukan secara rutin.
e. Penyiapan Peralatan
Peralatan pemadaman kebakaran harus dirancang dengan baik dan digunakan hanya untuk keperluan pemadaman. Peralatan tersebut harus selalu terpelihara dengan baik sehingga dapat digunakan setiap saat.
f. Penyiapan Logistik dan Bahan
Agar para petugas pemadaman dapat bekerja dengan baik, pasokan makanan dan air harus dipersiapkan dengan seksama. Selain itu, diperlukan juga pasokan bahan-bahan untuk peralatan pemadaman, misalnya oli, bahan bakar, suku cadang serta air untuk pemadaman.
g. Penyiapan Lapangan
Untuk menghadapi musim kemarau, prasarana lapangan yang ada perlu dipersiapkan dengan seksama. Jalan hutan, jalur-jalur isolasi, menara pengawas kebakaran, kolam air, pos jaga, dll.
3. Pemadaman Kebakaran Hutan
a. Prinsip Pemadaman Kebakaran Hutan
Suatu kebakaran tidak akan pernah terjadi tanpa tersedia oksigen, bahan bakar dan sumber panas yang cukup yang dapat berkombinasi dengan sesuai.
Berdasarkan konsep segitiga api tersebut, prinsip pemadaman kebakaran hutan adalah menghilangkan satu unsur atau lebih dari sisi-sisi segitiga api tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1)     Pendinginan => Api dapat dipadamkan dengan cara menurunkan suhu sampai di bawah suhu penyulutan, menggunakan air atau tanah basah pada bahan yang sedang terbakar.
2)     Pengurangan oksigen => Api dapat dipadamkan dengan cara menghilangkan oksigen dari bahan bakar yang sedang terbakar.
3)     Melaparkan => Api dapat ”dilaparkan” dengan cara menghilangkan pasokan bahan bakar yang tersedia.
b. Metode Pemadaman Kebakaran Hutan
Ada 2 metode pemadaman kebakaran hutan yaitu metode pemadaman langsung dan metode pemadaman tidak langsung. Perbedaan dasar antara kedua metode ini adalah dalam hal penempatan lokasi ilaran api terhadap tepi api kebakaran. Ilaran api adalah jalur bersih yang dibuat dengan cara membersihkan vegetasi dan mengeruk tanah sampai tanah mineral untuk menahan perambatan api. Dalam prakteknya, kedua metode ini dapat digunakan secara kombinasi. Tidak ada cara ”terbaik” untuk memadamkan semua kebakaran hutan. Hal yang penting adalah bagaimana memadamkan kebakaran hutan yang paling cepat, paling mudah dan paling aman.
1) Metode Pemadaman Langsung
Pemadaman dilakukan secara langsung pada tepi api di areal kebakaran. Bahan bakar yang terbakar dipadamkan atau dipisahkan dari bahan bakar yang belum terbakar. Pada metode ini semua bahan bakar mudah terbakar yang dihilangkan dari tepi kebakaran, hendaknya dilemparkan ke dalam areal yang terbakar.
Syarat pemadaman kebakaran secara langsung :
a) Bila api dapat dengan segera dipadamakan karena kondisi bahan bakar permukaan dan bahan bakar cukup mendukung untuk pelaksanaannya.
b) Bila panas dan atau asap dari kebakaran memungkinkan para petugas pemadaman untuk bekerja di sepanjang tepi api kebakaran.
c) Bila struktur tanahnya cukup menunjang untuk pembuatan suatu ilaran api.
Keuntungan pemadaman kebakaran secara langsung :
a) Menggunakan areal yang telah terbakar habis di sepanjang ilaran api.
b) Areal yang terbakar dapat dipertahankan sampai minimum.
c) Kebakaran kecil tidak mempunyai kesempatan untuk berubah menjadi besar.
d) Mengurangi ketidak pastian untuk menjaga ilaran api selama operasi pembakaran habis.
e) Dapat menggunakan regu pemadaman yang jumlah anggotanya sedikit dan dapat melaksanakan tugas-tugas perorangan.
Kerugian pemadaman kebakaran secara langsung :
a) Dapat menimbulkan ilaran api yang tidak beraturan.
b) Ada kemungkinan bahwa patroli ilaran api di daerah teluk dan jari api terlupakan.
c) Petugas diminta untuk bekerja pada kondisi sulit karena panas dan asap.
d) Tidak memperhitungkan keuntungan dengan adanya sekat-sekat alami yang telah ada atau tipe bahan bakar yang cocok untuk pembuatan ilaran api.
e) Ada kemungkinan para petugas tidak memperhatikan api lompat (spot fire), atau tidak mampu memadamkan titik panas (hot spot) pada tepi api.
2) Metode Pemadaman Tidak Langsung
Tindakan pemadaman dilakukan pada bahan bakar yang tidak terbakar yang letaknya di luar tepi api kebakaran. Metode ini memungkinkan para petugas pemadaman untuk bekerja jauh dari pengaruh panas api dan dapat memanfaatkan tipe bahan bakar dan sekat-sekat alami yang sesuai.
Sebuah ilaran api dapat dipilih atau dibuat jauh dari tepi api kebakaran dan bahan bakar antara ilaran api dengan tepi kebakaran dapat dibakar habis. Jarak antara tepi api dengan lokasi ilaran api akan tergantung pada berbagai faktor. Pada saat pembuatan ilaran api, bahan bakar harus disingkirkan jauh dari areal yang sedang terbakar.
Syarat pemadaman kebakaran secara tidak langsung :
a) Bila intensitas panas dan asap terlalu tinggi untuk memungkinkan bekerja pada tepi api kebakaran.
b) Bila kondisi tanah cukup mendukung untuk pembuatan ilaran api dengan cepat.
c) Bila api mempunyai kecepatan penjalaran yang tinggi karena kondisi bahan bakar, angin dan topografi mendukungnya.
d) Bila jalur-jalur yang ada seperti jalan, sungai, danau atau yang lainnya dapat digunakan sebagai sekat bakar.





C. MANAJEMEN PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN TERPADU
Kebakaran hutan memungkinkan selalu terjadi setiap tahun dan cenderung merusak lingkungan hidup. Penyebab utama kegagalan upaya pengendalian kebakaran adalah pendekatan yang sepotong-potong dan tak tentu ujung pangkalnya terhadap permasalahan yang ada.
Perhatian umumnya ditujukan pada upaya pemadaman kebakaran, faktor-faktor lainnya terlupakan. Padahal semestinya pemadaman perlu didukung oleh program-program pencegahan dan manajemen bahan bakar yang lebih mantap. Sejalan dengan itu, suatu sistem manajemen kebakaran hutan yang terpadu dan terkoordinasi menjadi keharusan. Sistem dimaksud harus meliputi komponen-komonen sebagai berikut:
1.  Pencegahan kebakaran yang disebabkan oleh manusia melalui pendidikan dan penyuluhan.
2.  Deteksi kebakaran yang baik melalui sistem deteksi yang mencakup jaringan kerja titik-titik pengamatan, patroli yang efektif dan efisien, penggunaan sistem citra satelit dan GIS, sistem komunikasi yang baik dan sebagainya.
3.  Tindakan awal penanggulangan yang cepat.
4.  Tindakan lanjutan yang mantap dan terarah.
Masing-masing komponen tersebut di atas berperan penting dalam mensukseskan keseluruhan sistem manajemen kebakaran hutan. Kelalaian atau ketidakacuhan terhadap salah satu komponen tersebut akan dapat menyebabkan kegagalan sistem manajemen.
Rencana manajemen kebakaran hutan untuk masing-masing kawasan harus disusun dengan menunjukkan tujuan dan sasaran, kawasan-kawasan beresiko kebakaran tinggi (menurut data kebakaran yang lalu atau analisis kerawanan), sumber daya yang ada, dan kegiatan-kegiatan pengendalian kebakaran. Rencana-rencana ini perlu ditelaah dan ditinjau secara teratur.

D.    STRATEGI PENDAMPINGAN DALAM PENYULUHAN KEBAKARAN HUTAN
Keberhasilan pembangunan kehutanan sangat ditentukan oleh sejauhmana tingkat partisipasi masyarakat dalam berkontribusi terhadap upaya pengelolaan hutan dan kualitas sumberdaya manusia yang mendukungnya. Dalam upaya pengembangan kualitas masyarakat khususnya yang bermukim di dalam dan sekitar hutan agar maju dan mandiri sebagai pelaku pembangunan kehutanan, maka peranan penyuluhan kehutanan sangatlah strategis.
Materi penyuluhan tentang kebakaran hutan yang disampaikan dalam pendampingan disesuaikan dengan kondisi dan karakteristik masyarakat sasaran, yaitu:
a.  Pencegahan kebakaran hutan
b.  Sistem penanggulangan kebakaran hutan
c.   Penerapan zero bad burning
d.  Peningkatan pendapatan masyarakat dan penyerapan tenaga kerja dalam usaha kehutanan
e.  Penegakan hukum untuk menghindari perusakan sumberdaya hutan
f.   Peningkatan pengamanan secara partisipatif melalui kemitraan dengan masyarakat
Metode penyuluhan, yaitu:
a.     Metode partisipatif yang membuka ruang-ruang/peluang-peluang belajar bersama masyarakat
b.     Menumbuhkan rasa saling percaya, kesepahaman, kesetaraan dan proses kebersamaan dengan masyarakat sasaran
c.      Metode demonstratsi/peragaan-peragaan kegiatan dan hasil pembangunan kehutanan
d.     Mengembangkan forum-forum dialog antar stakeholders


III. METODELOGI


Untuk menjawab permasalah ini, digunakan 2 metode, yaitu:
1. Studi Sosial-ekonomi, melalui Participatory Rural Appraisal (PRA) yang lebih banyak membutuhkan partisipasi masyarakat lokal dalam menjawab sejarah perubahan lahan dan melakukan pemetaan sederhana mengenai kekuatan sumberdaya yang ada, khususnya yang mempunyai implikasi langsung terhadap terjadinya kebakaran. Sedangkan teknik Rapid Rural Appraisal (RRA) lebih banyak dilakukan secara institusional terhadap lembaga, pemerintah daerah mapun pusat, dan perusahaanperusahaan yang bersangkutan.
2. Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG), melalui analisa data hotspot (Citra Satelit NOAA) dan identifikasi, analisa dan rektifikasi penutupan lahan sekaligus perubahan lahan yang terjadi dalam kurun waktu tertentu menggunakan Citra Landat TM dan SAR. Kedua hasil tersebut diintegrasikan dan dianalisa untuk mendeskripsikan The Underlying Causes and Impact of Fire.
 











Gambar 2.  Kebakaran Hutan





IV. PEMBAHASAN

Tindakan pencegahan merupakan komponen terpenting dari seluruh sistem penanggulangan bencana termasuk kebakaran. Bila pencegahan dilaksanakan dengan baik, seluruh bencana kebakaran dapat diminimalkan atau bahkan dihindarkan. Pencegahan kebakaran diarahkan untuk meminimalkan atau menghilangkan sumber api di lapangan. Upaya ini pada dasarnya harus dimulai sejak awal proses pembangunan sebuah wilayah, yaitu sejak penetapan fungsi wilayah, perencanaan tata guna hutan/lahan, pemberian ijin bagi kegiatan, hingga pemantauan dan evaluasi.
Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan untuk mencegah timbulnya api di antaranya :
1. Penatagunaan lahan sesuai dengan peruntukan dan fungsinya masing-masing, dengan mempertimbangkan kelayakannya secara ekologis di samping secara ekonomis.
2. Pengembangan sistem budidaya pertanian dan perkebunan, serta sistem produksi kayu yang tidak rentan terhadap kebakaran, seperti pembukaan dan persiapan lahan tanpa bakar (zero burning-based land clearing), atau dengan pembakaran yang terkendali (controlled burning-based land clearing).
3. Pengembangan sistem kepemilikan lahan secara jelas dan tepat sasaran. Kegiatan ini dimaksudkan untuk menghindari pengelolaan lahan yang tidak tepat sesuai dengen peruntukan dan fungsinya.
4. Pencegahan perubahan ekologi secara besar-besaran diantaranya dengan membuat dan mengembangkan pedoman pemanfaatan hutan dan lahan gambut secara bijaksana (wise use of peatland), dan memulihkan hutan dan lahan gambut yang telah rusak.
5. Pengembangan program penyadaran masyarakat terutama yang terkait dengan tindakan pencegahan dan pengendalian kebakaran. Program ini diharapkan dapat mendorong dikembangkannya strategi pencegahan dan pengendalian kebakaran berbasis masyarakat (community-based fire management).
6. Pengembangan sistem penegakan hukum. Hal ini mencakup penyelidikan terhadap penyebab kebakaran serta mengajukan pihak-pihak yang diduga menyebabkan kebakaran ke pengadilan.
7. Pengembangan sistem informasi kebakaran yang berorientasi kepada penyelesaian masalah. Hal ini mencakup pengembangan sistem pemeringkatan bahaya kebakaran (Fire Danger Rating System) dengan memadukan data iklim (curah hujan dan kelembaban udara), data hidrologis (kedalaman muka air tanah dan kadar lengas tanah), dan data bahan yang dapat memicu timbulnya api. Kegiatan ini akan memberikan gambaran secara kartografik terhadap kerawanan kebakaran. Gambarannya dapat berupa peta bahaya kebakaran yang berhubungan dengan kondisi mudahnya terjadi kebakaran, peta resiko kebakaran yang berkaitan dengan sebab musabab terjadinya kebakaran, dan peta sejarah kebakaran yang penting untuk evaluasi penanggulangan kebakaran.


 











Gambar 3. Penyuluhan Kepada Masyarakat
Pengendalian kebakaran
Kegiatan pengendalian kebakaran meliputi kegiatan mitigasi, kesiagaan, dan pemadaman api. Kegiatan mitigasi bertujuan untuk mengurangi dampak kebakaran seperti pada kesehatan dan sektor transportasi yang disebabkan oleh asap. Beberapa kegiatan mitigasi yang dapat dilakukan antara lain: (1) menyediakan peralatan kesehatan terutama di daerah rawan kebakaran, (2) menyediakan dan mengaktifkan semua alat pengukur debu di daerah rawan kebakaran, (3) memperingatkan pihak-pihak yang terkait tentang bahaya kebakaran dan asap, (4) mengembangkan waduk-waduk air di daerah rawan kebakaran, dan (5) membuat parit-parit api untuk mencegah meluasnya kebakaran beserta dampaknya.
Kesiagaan dalam pengendalian kebakaran bertujuan agar perangkat penanggulangan kebakaran dan dampaknya berada dalam keadaan siap digerakkan. Hal yang paling penting dalam tahap ini adalah membangun partisipasi masyarakat di kawasan rawan kebakaran, dan ketaatan para pengusaha terhadap ketentuan penanggulangan kebakaran.



 










Gambar 4. Tim Pemadam Kebakaran
Tahapan ketiga adalah kegiatan pemadaman api. Pada tahap ini usaha lokal untuk memadamkan api menjadi sangat penting karena upaya di tingkat lebih tinggi memerlukan persiapan lebih lama sehingga dikhawatirkan api sudah menyebar lebih luas. Pemadaman api di kawasan bergambut jauh lebih sulit daripada di kawasan yang tidak bergambut. Hal ini terkait dengan kecepatan penyebaran api yang sangat cepat dan tipe api di bawah permukaan. Strategi pemadaman api secara konvensional seperti pada kawasan hutan dan lahan tidak bergambut harus dikombinasikan dengan cara-cara khas untuk kawasan bergambut, terutama untuk memadamkan api di bawah permukaan. Pemadaman api di bawah permukaan dengan menyemprotkan air ke atas permukaan lahan tidaklah efektif, karena tanah gambut mempunyai daya hantar air cacak (vertikal) yang sangat randah, tetapi daya hantar air menyamping (lateral)-nya tinggi. Oleh karenanya pemadaman api bertipe ini hanya dapat dilakukan dengan membuat parit yang diairi, seperti sekat bakar diairi (KATIR) yang telah dikembangkan oleh Tim Serbu Api Universitas Palangkaraya. Cara lainnya adalah penyemprotan air melalui lubang yang telah digali hingga batas api di bawah permukaan, seperti yang dilakukan di Malaysia (Musa & Parlan, 2002).
Pencegahan merupakan salah satu komponen dari pengendalian kebakaran, yang mencakup semua cara untuk mengurangi atau meminimumkan jumlah kejadian kebakaran. Pencegahan dapat dilakukan dengan 3 (tiga) pendekatan, yaitu pendidikan (education), keteknikan (engineering), penegakan hukum (law enforcement). Pendekatan pendidikan dilakukan dengan cara pendekatan penyuluhan, kampanye, sosialisasi, pelatihan, pendidikan lingkungan dan lain-lain pada semua lapisan masyarakat, baik pelaksana maupun petugas lainnya. Untuk menciptakan kesiagaan pada karyawan, melakukan pelatihan atau simulasi kesiagaan tiap tahunnya, frekuensi pelatihan dilakukan minimal satu kali dalam setahun menjelang musim kemarau. Pelatihan ini dilakukan minimal 8 (delapan) orang, dipimpin kepala koordinator bidang perlindungan hutan, berdasar petunjuk teknis (juknis) yang telah dibuat   juga melakukan penyuluhan untuk masyarakat sekitar, baik dari pintu ke pintu atau mengumpulkan masyarakat di Balai desa untuk memberikan penyuluhan secara menyeluruh. Selain memberikan penyuluhan juga menempelkan beberapa poster pada setiap pintu rumah masyarakat dan juga membuat beberapa papan peringatan yang berisi ajakan-ajakan untuk mencegah kebakaran hutan.

 










Upaya teknis yang dilakukan oleh pihak unit pengelola adalah melakukan pembinaan atau pengarahan, yaitu:
a. Pengembangan teknik pembukaan lahan tanpa bakar, dimana  mengajarkan masyarakat bagaimana cara menyiapkan lahan tanpa membakar. Akan tetapi masyarakat masih belum bisa melaksanakannya dengan alasan lahan yang disiapkan tanpa ada proses pembakaran tanahnya tidak bisa digunakan untuk lahan pertanian (ladang).
b. Pembangunan sarana pencegah kebakaran seperti menara pemantau api dan embung-embung air (penampungan air seperti danau, baik terbuat secara alami maupun buatan)


 












Gambar 5. Pelatihan Satuan Pemadam Kebakaran


V. PENUTUP
A. Kesimpulan
a. Strategi pengendalian kebakaran yang diterapkan Oleh Setiap Perusahaan Kehutanan mencakup kegiatan pra pemadaman, operasi pemadaman kebakaran dan kegiatan pasca kebakaran (konsolidasi).
b. Bentuk partisipasi masyarakat berupa hukum adat yang diterapkan pada tata cara penyiapan lahan untuk ladang.
B. Saran
a. Perlu ditingkatkannya pelatihan kebakaran untuk pegawai maupun masyarakat, agar lebih siaga terhadap kebakaran.
b. Untuk masyarakat perlu diadakan pelatihan atau penyuluhan tentang penyiapan lahan tanpa bakar secara intensif, agar mereka tidak lagi membakar dalam menyiapkan lahan.











DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M.J., M.R. Ibrahim, & A.R. Abdul Rahim. 2002. The influence of forest fire in Peninsular Malaysia: History, root causes, prevention, and control. Makalah disajikan pada Workshop on Prevention and Control of Fire in Peatlands, 19–21 March 2002, Kuala Lumpur, Malaysia, 14 h.
BAPPENAS. 1998. Planning for fire prevention and drought management project: interim report. BAPPENAS, Jakarta.
[DEPHUT] Departemen Kehutanan, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. 2007. Prosedur Tetap Pengendalian Kabakaran Hutan. Jakarta.
[DEPHUT] Departemen Kehutanan, Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan. 2005. Peraturan Pemerintah RI Nomor 45 Tahun 2005 Tentang Perlindungan Hutan. Jakarta.
Musa, S. & I. Parlan. 2002. The 1997/1998 forest fire experience in Peninsular Malaysia. Makalah disajikan pada Workshop on Prevention and Control of Fire in Peatlands, 19–21 March 2002, Kuala Lumpur, Malaysia, 8 h.
Radjagukguk, B. 2001. Perspektif permasalahan dan konsepsi pengelolaan lahan gambut tropika untuk pertanian berkelanjutan. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar, UGM, Yogyakarta, 37





Tidak ada komentar:

Posting Komentar